Islam Nusantara


Melacak jejak Nasionalisme Indonesia

Hanif Hidayatullah

Nasionalisme muncul dan berkembang di Barat sejak abad ke-15. Namun tidak lama kemudian paham tersebut dianut oleh Negara Timur, salah satunya adalah Indonesia setelah abad ke-19. Di Indonesia paham nasionalisme merupakan paham yang melahirkan sejarah besar sebagai alat pemersatu untuk melawan penjajahan. Meski era kemerdekaan dari penjajahan dan kolonialisme telah lewat, namun nasionalisme tetap tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian mengental dalam kehidupan kenegaraaan yang berwujud Negara-bangsa Indonesia. Namun sebelum nasionalisme masuk dan mempengaruhi masyarakat Nusantara, telah ada nilai-nilai universal yang berlaku dan menjadi unsur pemersatu. Nilai itu adalah agama. Sehingga mau tidak mau nasionalisme akan bersentuhan dengan nilai-nilai agama yang telah lebih lama berada di masyarakat Nusantara.
Menatap fenomena yang sedemikian rupa, jadi tidaklah mengherankan jika hal ini menimbulkan permasalahan yang kian rumit dalam perkembangan Indonesia ke depan terkait dengan sosial-politik dan ideologi Negara, sehingga munculah gagasan bahwa yang bisa menyatukan dan memajukan kita sebagai masyarakat Indonesia adalah Islam atau Negara Islam.

Ahmad Baso, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di harian Kompas pernah mengatakan, bahwa pesatnya perkembangan paham Islam trans-nasional di Indonesia tidak terlepas dari peranan mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Timur tengah. Saat kembali ke Indonesia mereka justeru mempromosikan cara beragama dan berbangsa "ala Timur tengah" yang tidak sesuai dengan konteks keindonesiaan. Maraknya perkembangan Islam trans-nasional membuat Indonesia menjadi ajang bagi penegakan syariat Islam dan penerapan khilâfah Islâmiyah. Kuatnya desakan faham trans-nasional membuat banyak mahasiswa Indonesia kehilangan nilai lokalitasnya yang berbasis pada kultur dan kondisi kebangsaan Indonesia. Semangat nasionalisme mereka pun kemudian menurun, bahkan pada batas-batas tertentu pudar. Kondisi ini berbeda dengan para lulusan perguruan tinggi Timur tengah sebelum masa kemerdekaan. Meski pun memperoleh pendidikan keagamaan yang kuat ala Timur tengah, saat kembali ke Indonesia mereka justeru dapat menguatkan nilai-nilai lokal yang ada. Mereka juga mampu melahirkan cara beragama dan berpolitik yang khas "ala Indonesia", bahkan mempromosikan ke mancanegara. Kalau alumni Timur tengah sekarang dan yang akan datang hanya menjadi agen dari paham keagamaan trans-nasiaonal, apa gunanya bagi bangsa?, tegas Baso.

Menilai apa yang ditulis oleh Ahmad Baso, terlihat bahwa dia merupakan sosok yang merasakan kekhawatiran dari out put mahasiswa Indonesia yang belajar di Timur tengah. Namun, saya kira beliau tidak melakukan generalisasi, karena tidak semua out put akademia Timur tengah seperti yang dituduhkannya, bahwa mereka yang belajar di Timur tengah akan selalu memiliki kecendrungan seperti itu, artinya punya komitmen untuk mengembalikan Indonesia dari masa pesawat udara ke masa Onta lagi.

Saya tidak mengatakan naif, tapi sangat sulit berharap pada pikiran seperti itu, bahwa melakukan dekonstruksi terhadap ideologi nasional lalu direkonstruksi menjadi khilâfah Islâmiyah adalah sebuah solusi untuk mempersatuakn bangsa. Orang Islam yang masih eksklusiv seharusnya juga sadar bahwa mereka hidup di Indonesia, walau pun secara doktrinal, Islam itu bersifat universal dan literal sekaligus pada awal munculnya, tapi interpretasi atas gagasan-gagasan keislaman sebahagian besar juga tidak terlepas dari kondisi di mana sang interpreter berada. Karena kebetulan kita hidup di Indonesia, maka karakter dan hal-hal yang mewarnai keindonesiaan juga tidak bisa dilepaskan dalam menafsirkan Islam. Artinya Islam tidak berkembang di alam yang vakum atau di ruang hampa, tapi akan selalu terbentuk bersamaan dengan nilai-nilai kontekstual atau realitas objektif yang melatari kehadiran Islam.

Melihat konteks Islam di Nusantara, saya kira hubungan antara Islam dengan nasionalisme tidaklah bersifat diameterial atau terpisah, akan tetapi sudah memiliki sifat yang immaterial atau peduli. Menjadi seorang Muslim yang baik, tidak berarti menjadi seorang yang anti nasionalisme. Fakta itulah yang ditunjukkan oleh para perintis perjuangan kemerdekaan Indonesia tempo dulu seperi Bung Karno, Muhammad Hatta, Syahrir, Cokro Aminoto, Wahid Hasyim ,Bagus Hadikusumo, dan lain-lain.

Dalam kenyataan, ada saja sekelompok Muslim yang konsisten meletakkan agama di atas bangsa dan setia mengampanyekan gagasan khilâfah universal lintas Negara. Bagi mereka, nasionalisme tidak penting, bahkan pada titik yang paling ekstrim dipandang tercela. Komitmen mereka itu didukung oleh keniscayaan adanya relasi antara tebal dan tipisnya iman atau juga ada kaitannya dengan halal dan haram. Di samping juga dibungkus dengan kepentingan politik kekuasaan.

Jadi bisa disimpulkan bahwa menurut mereka Islam harus dipaksakan kepada umat, bukan sebuah kesadaran. Nilai-nilai Islam harus diterapkan dengan kekuasaan. Tanpa itu seoalah-olah Islam tidak akan tegak dan tak memiliki arti apa-apa. Saya lebih setuju dengan kata-kata filosofis yang pernah diungkapkan oleh Ali Harb, pemikir Lebanon; "saya lebih khusu‘ dan khidmat shalât di Perancis dari pada shalât di Timur tengah". Artinya kondisi yang lebih mendukung untuk melakukan ritual, itu lebih rendah kwalitas keimanannya dibanding seseorang yang melakukan ritual di daerah yang iklimnya tidak beraroma Islami, dan itulah yang lebih baik bagi jiwa-jiwa yang memiliki kesadaran dan keyakinan yang besar terhadap Islam.

Menggugat Legalitas Kebenaran Mutlak


Hanif Hidayatullah

"Cintailah kebenaran sebagaimana kita mencintai diri sendiri. Hormatilah kebenaran orang lain, sebagaimana kita butuh kepada orang lain. Ingatlah, bahwa mendaku kebenaran hanya miliknya adalah kesombongan. Dan yang berhak sombong adalah Yang Maha Benar".

Menilik fenomena negeri kita yang mayoritas adalah umat Islam, kadang timbul sebuah pandangan yang tidak memuaskan dalam benak dan naluri. Betapa tidak, Islam yang dipahami sebagai agama yang dibawa rasulullah dengan tujuan untuk menyempurnakan akhlak, Islam yang mencintai perdamain, toleransi dan menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan nilai-nilai hak asasi manusia hanyalah sekedar teori fikih dan teologi versi sebuah maenstrem yang dipahami oleh sekian banyak umat Islam di Indonesia. Ideologi yang selama ini membumi di tanah air dan bahkan dianggap sudah menjadi doktrin yang pakem terasa menjadi puncak timbulnya klaim kebenaran mutlak yang seakan harus direalitaskan di bumi Nusantara. Seakan Islam di Nusantara hanya milik sebuah golongan, lembaga, madzhab atau bahkan otoritas tertentu.
Jadi tidak heranlah, ketika ada sebuah pemahaman tentang Islam yang berbeda dan bersebrangan dari ideologi fikih dan teologi yang sudah mengakar dan mentradisi, ramai-ramai dimentahkan bahkan klaim saling sesat menyesatkan menjadi sebuah trend umat Islam masa kini. Hal ini tidak lain adalah demi membela pemahaman tentang Islam yang didaku oleh mereka sebagai pemahaman yang paling benar, mapan dan absolut, dengan alasan membela kemurnian dan ajaran Islam yang dibawa rasulullah menurut pemahaman yang diyakini. Memutlakkan sebuah kebenaran yang diyakini dalam realitas sosial tidaklah merupakan sebuah kesalahan, jika hal tersebut masih dalam koridor menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, dan hak asasi manusia serta tidak menyinggung kebebasan berekspresi yang merupakan bagian dari moralitas yang menjadi misi rasulullah ketika diutus ke muka bumi ini.

Islam sebagai agama yang mengedepankan kwalitas moral, sering dipahami oleh sebahagian khalayak ramai bahkan oleh para pemuka agama di Nusantara sebagai fikihisme dan teologisme, sehingga jika kedua doktrin tersebut terasa tercemar oleh upaya-upaya kreatif pihak lain, maka tidak jarang muncul tindakan yang mendiskreditkan moralitas yang menjadi inti dari ajaran Islam dan bahkan yang lahir adalah kecongkakan dan egoisme, sehingga berimplikasi kepada terjadinya kesenjangan sosial bahkan sering berakibat tindakan anarkisme yang membahayakan harta dan jiwa umat manusia. Senada dengan hal tersebut, kita baru-baru ini selalu merasa risih bahkan pada seluruh panca indra dengan isu-isu sentral dan respon-respon umat Islam yang pro aktif baik dari kalangan bawahan sampai kalangan agamawan yang kian memuncak, tentang munculnya kelompok-kelompok sempalan Islam di Nusantara. Seakan mereka merasa kurang optimis akan keyakinan kebenaran fikih dan teologi yang menjadi ajaran pakem umat Islam, seakan menjadi kekhawatiran akan pudarnya Islam akibat munculnya aliran-aliran tersebut. Karena kekhawatiran itulah lalu mereka selalu merasa resah dan gelisah dengan kondisi agama Islam yang selama ini di pahami rakyat Nusantara.

Sebagaimana yang saya jelaskan diatas, bahwa memutlakkan kebenaran yang kita yakini adalah merupakan komitmen yang sejatinya harus ada pada jiwa seorang muslim, karena tanpa adanya satu keyakinan yang diyakini kebenarnnya, maka prilaku, ritual dan lain-lain hanya akan dipenuhi dengan keraguan dan jelas akan berimplikasi pada kurang sempurnya tujuan yang direalisasikan. Sebagai mana firman Allah dalam hadis qudsi: ana ‘inda zhanni ‘abdi bi fala yadzunnu illa khaira.Namun jika kebenaran muthlak tersebut dilegalisasikan oleh otoritas yang memiliki kekuatan hukum dan fatwanya akan selalu diikuti seluruh umat, maka klaim atau melegalkan kebeneran mutlak harus mempertimbangkan berbagai macam sisi, baik itu yang terkait dengan hubungan manusia pada Tuhannya atau yang berhubungan erat dengan keharmonisan interaksi antar sesama manusia.

Nah jika klaim kebenaran tersebut tidak berakibat memperkeruh keharmonisan umat untuk melakukan hubungan dengan Tuhannya dan tidak mengusik hak dan kebebasan berkreasi dan berinteraksi antar sesama umat manusia, maka itu adalah sebuah klaim kebenaran yang akan diterima oleh setiap naluri manusia dan sesuai dengan misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamian. Tapi ketika klaim kebenaran mutlak hanya akan berdampak memperkeruh kejernihan arus interaksi sosial antar sesama umat dan bahkan berakibat pada pudarnya rasa persaudaraan antar sesama muslim. Maka hal ini bukan merupakan kebenaran demi kebenaran yang mashlahah, akan tetapi hanyalah kebenaran yang akan menyesatkan dan memporak-porandakan umat. Seiring dengan hal tersebut, ketika kita menjelajah fenomena realitas sosial umat muslim di Nusantara, yang akhir-akhir ini diributkan dengan munculnya sempalan-sempalan atas nama islam, bermunculan pula di Cakrawala klaim kebenaran mutlak, baik itu melalui lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, agama bahkan lembaga otonom yang memilki otoritas penting dalam sebuah pemerintahan. Seolah-olah Islam hanyalah milik FPI, HTI, PKS dan organesasi-organesasi konservatif yang lain, seolah-olah Islam hanyalah punya Muhammadiyah dan NU saja. Mereka enggan mengakui bahwa Islam di Indonesia juga dimiliki oleh ISLIB, ISLAT, P3M, JTI, LDII, Al-Qiyadah al-Islamiyah, Qur'an Suci, Ahmadiyah dan juga sekte-sekte Islam baru yang lain. Semua punya hak milik dan otoritas terhadap Islam.

Sudah selayaknya masing-masing umat Islam mengakui dan komitmen bahwa kebenaran Islam adalah Islam yang diyakini dan yang dianutnya. Sudah sewajarnya masing-masing mendeklerasikan bahwa Islamnyalah yang paling benar dihadapan Tuhannya. Namun tentu klaim kebenaran itu hanyalah sebatas untuk menumbuhkan rasa optimis dalam menjalankan Islam yang diyakininya, serta tidak sampai mengusik ketentraman dan kebebasan umat Islam lain dalam menjalankan ritual yang diyakininya. Namun sangat disesalkan, ketika bangsa yang masih bergelimang dengan penderitaan disana-sini akibat berbagai krisis yang multidemensional, baik dari segi ekonomi, politik, sosial bahkan krisis moralitas umat Islam yang sedemikian rupa, MUI sebagai lembaga pemerintahan yang memiliki kekuatan hukum, tak tinggal diam untuk menambah kegelisahan dan keresahan yang dialami warganya. Bukan malah mencarikan solusi terhadap pertentangan umat, bukan mengajak umatnya untuk menjujung tinggi nilai-nilai demokrasi dan toleransi antar sesama, tapi justru mengajak umat untuk menyalakan api peresengketaan dalam tubuh umat Islam sendiri.

Tak ayal, kemudian MUI lewat fatwanya melakukan intervensi terhadap ISLIB dan aliran-aliran baru dengan menyatakan sesat dan menyesatkan. Dan yang lebih fatal lagi adalah mengajak warga untuk bersikap tegas atas eksistensi dan konsistensi ISLIB dan munculnya aliran-aliran baru tersebut. Aliran-aliran yang diklaim sesat oleh MUI itu antara lain: Al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mushaddeq, Salamullah (Komunitas Eden) pimpinan Lia Aminudin, Jemaah Ngaji Lelaku pimpinan Yusman roy, Islam Jamaah pimpinan Nur Hasan Ubaidah, Al-Quran Suci, dan Ahmadiyah pimpinan Mirza Ghulam Ahmad. MUI dalam hal ini terlihat berperan langsung dalam membentuk sikap-sikap intoleran dan kebencian. Sehingga menurut penulis, asas Pancasila saat ini lebih banyak dimaknai sebagai penyatuan agama dan Negara daripada menjunjung tinggi nasionalisme, nilai demokrasi dan toleransi antar sesasama warga Negara. Akibatnya, negara memiliki stempel benar dan tidaknya sebuah ideologi adalah berdasarkan agama/kepercayaan, bukan berdasarkan UUD 45 dan Pancasila. Padahal Negara kita adalah berideologikan Pancasila dan berpedoman pada UUD 45, bukan berdasarkan agama Islam, karena Negara kita bukan Negara Islam. Maka saya menyimpulkan sikap pemeritahan Indonesia saat ini, bahwa jika dianggap sesat oleh ideologi agama, maka pemerintah lewat MUI pun bersikap represif (menindas) bahkan melakukan penangkapan terhadap kelompok-kelompok diluar maenstrem, ibarat sedang memburu PKI di zaman pemerintahan Orde Baru.

Merespon keputusan MUI yang sedemikian rupa, banyak lembaga-lembaga Islam, terutama lembaga yang nota benenya memperjuangkan dan menjunjung tinggi kebebasan berkreasi dan hak asasi manusia seperti: The Wahid Institute,The Indonesian Legal Resource Center (ILRC),Yayasan Tifa, The Human Rights Working Group (HRWG), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Desantara Madia, Jaringan Islam Liberal (JIL), dan MADIA, yang menghimbau dan mendesak untuk menghentikan klaim sesat dan menyesatkan kepada kelompok atau aliran yang muncul. Sebab dari banyak kasus fatwa penyesatan justru menjadi pendorong dan pembenar tindak kekerasan oleh kelompok masyarakat tertentu. Bahkan komnas HAM sendiri menyimpulkan, bahwa berbagai kasus yang ada, salah satunya adalah penyerangan dan perusakan gedung-gedung Ahmadiyah adalah berpangkal pada fatwa MUI. Sebetulnya, temuan Komnas HAM itu tidak terlalu mengejutkan. Bahwa ada korelasi antara sikap keberagamaan tertentu dengan kekerasan yang telah lama menjadi kesimpulan banyak study, tapi yang mengejutkan adalah bahwa hal ini dinyatakan dalam sebuah dokumen resmi dan diumumkan kepada publik. Selama ini, hampir tidak ada orang yang berani mengatakan bahwa fatwa MUI secara langsung bertanggungjawab terhadap kekerasan atas Ahmadiyah.

Fatwa adalah pandangan keagamaan yang dikeluarkan oleh ulama. Banyak orang mengatakan bahwa “fatwa tidak mengikat,” maksudnya adalah bahwa fatwa tidak memiliki konsekwensi legal. Benar bahwa fatwa tidak memiliki konsekwensi legal bagi kaum muslim, tapi mengatakan bahwa fatwa tidak memiliki dampak sosial di dalam masyarakat yang nota bene Islam adalah sebuah kekeliruan. Bagaimanapun, fatwa bukanlah pernyataan awam, tapi pernyataan sebuah otoritas agama. Dengan dukungan dari masyarakat Islam yang semakin konservatif, MUI memiliki sedikit kekuatan dan kepercayaan diri dalam menelorkan fatwa-fatwanya, disamping juga sebagai lembaga independen pemerintah, apalagi ketika beberapa tokoh ultra-konservatif, yang kurang memahami arti bernegara, mulai masuk ke dalam lembaga ini. Inilah yang menurut penulis faktor penyebab beberapa fatwa yang berpotensi memicu kekerasan dan tindakan intoleransi antar sesama umat Islam adalah berasal dari keompok ultra-konservatif yang menelusup dalam tubuh MUI tersebut . Dalam beberapa tahun belakangan, setidaknya ada dua fatwa yang telah mendorong kekerasan atas nama Islam: pertama, fatwa tentang beberapa aliran yang muncul seperti disebutkan di atas, dan kedua fatwa tentang liberalisme, Sekularisme, dan Pluralisme. Fatwa ini berpotensi besar memicu sekelompok kaum muslim untuk bertindak intoleran kepada lembaga-lembaga yang mempromosikan konsep-konsep yang diharamkan MUI itu. Kita tahu, dalam Islam ada anjuran untuk selalu berburu kebenaran. Dalam sebuah hadis, bahkan Nabi menyebut bahwa kebenaran/kebijaksanaan adalah merupakan barang tercecer yang perlu dipungut oleh setiap Muslim.

Dalam konsep Islam, pemilik kebenaran mutlak hanyalah Tuhan semata bukan milik Islam konservatif dan MUI. Karena itu, dalam bahasa Arab,Tuhan sering juga disebut al-Haqq: Yang Maha benar, kalau bukan kebenaran itu sendiri. Sementara manusia, paling banter hanya sampai pada percikan-percikan kebenaran. Namun, itu bukan berarti manusia tak akan pernah sampai pada kebenaran sama sekali. Mungkin sekali manusia sampai pada kebenaran, tapi kebenaran yang dicapai manusia adalah kebenaran yang nisbi, bukan kebenaran yang mutlak. Hemat saya, kebenaran yang nisbi itulah yang lebih baik dikonsumsi umat Islam dewasa ini, jika prinsip kebenaran mutlak tersebut mudah menjerat umat untuk sulit beradaptasi dengan perbedaan pemahaman Islam yang ada, karena dengan prinsip kebenaran yang tidak muthlak atau nisbi itulah, hidup manusia akan senantiasa harmonis dan beradab, karena kebenaran tersebut selalu dapat didiskusikan, diinterupsi, dievaluasi, dan dikoreksi sesuai dengan keperluan yang dibutuhkan umat. Tapi dalam kenyataannya, manusia selalu punya kepentingan untuk mendaku kebenaran mutlak Tuhan dengan pelbagai motifnya.

Ingatlah, bahwa filosof-filosof dan pemikir besar sekalipun hanya menyebut diri mereka sebagai muhibbul hikmah alias pencinta kebenaran, bukan pemilik kebenaran sebagaimana yang dimiliki oleh yang maha benar. Sumber: Jelajah dari berbagai media.

Spirit Merealitaskan al-Qur'an


Hanif Hidayatullah

Al-Qur’an adalah wahyu tuhan yang berisi nilai-nilai universal kemanusiaan. Ia diturunkan untuk dijadikan petunjuk, bukan hanya untuk sekelompok manusia, melainkan untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Nilai-nilai dasar al-Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan manusia secara utuh dan komprehensif (Q.S. al-An’âm/6:37). Tema-tema pokoknya mencakup aspek ketuhanan, manusia sebagai individu dan anggota masyarakat, alam semesta, kenabian, wahyu, eskatologi (ajaran teologi mengenai akhir zaman seperti kiamat, hari kebangkitan, neraka, surga dan lain-lain), dan makhluk-makhluk spiritual seperti malaikat. Eksistensi, orisinalitas, dan kebenaran ajarannya dapat dibuktikan oleh sains modern (QS. al-Hujurât/15:9), sedang tuntunan-tuntunannya adalah rahmat bagi semesta alam (Q.S. al-Furqân/25:1).
Namun demikian, al-Qur’an tidak boleh ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus dimitoskan, karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara al-Qur’an dengan realitas sosial, perkembangan semacam ini kadang-kadang tidak diantisipasi oleh umat Islam, sehingga menimbulkan sikap-sikap reaksioner yang berlebihan.

Di lain sisi bisa menimbulkan sikap intoleransi gagasan-gagasan ilmiah wacana keagamaan dan berujung pada tindakan pengisolasian karya-karya progresif para pemikir islam. Misalnya saja pada kasus Dr. Nasr Hamid Abu Zaid, ilmuwan yang melakukan “interogasi ilmiah” atas al-Qu'ran. Ia dituduh “kafir” karena kegiatan ilmiahnya itu. Al-Qur'an sebagai wahyu adalah bagian dari keyakinan umat Islam yang sejatinya tidak bisa diinterogasi secara “ilmiah”. Seorang muslim beriman bahwa al-Qur'an, dengan satu cara: karena diwahyukan oleh Allah.

Pada sesi ini, tampaknya kita relevan memakai perspektif “fideistis” yang dikemukakan oleh Soren Kierkegaard, filsuf Denmark, yang mengatakan bahwa iman adalah suatu “lompatan”. Kita berani “melompat” tanpa didukung oleh bukti-bukti “ilmiah” dan lalu menyimpulkan bahwa benar adanya kitab kami diwahyukan oleh Allah. Sesi berikutnya adalah al-qur'an sebagai data sejarah, yakni sebagai teks yang secara historis berada di tegah-tengah umat Islam. Ia menjadi sumber, fondasi, dan ilham bagi norma dan aturan-aturan yang mengatur kehidupan umat Islam. Pada sesi inilah, al-Qur'an bisa diinterogasi secara ilmiah, dianalisa, diinterpretasikan, dan seterusnya. Kedua sesi itu selayaknya tidak dicampuradukkan. Interogasi “ilmiah” atas al-Qur'an sudah selayaknya ditempatkan pada wilayah kajian ilmiah, dan tidak selayaknya dipandang sebagai “pelecehan” pada iman. Pengkajian ilmiah atas al-Qur'an juga tidak selayaknya dianggap sebagai usaha untuk memudarkan iman. Seorang muslim bisa tetap bertahan sebagai seorang beriman yang baik, tetapi pada saat yang sama melakukan interogasi dan pengkajian ilmiah atas al-Qur'an.

Al-Qur’an di satu pihak diidealisasikan sebagai sistem nilai sakral dan transendental; sementara di pihak lain realitas sosial yang harus dibimbingnya begitu pragmatis (bersifat praktis dan berguna bagi umum), rasional, dan materialistis. Seolah-olah nilai-nilai al-Qur’an yang diadreskan untuk manusia berhadap-hadapan dengan realitas itu, betapa tidak al-Qur'an sebagai salah satu sumber yang tidak pernah tersentuh oleh kajian ilmiah sampai menemukan bukti ketidakorisinilannya dan tidak pernah berhenti dikaji baik oleh para pakar orentalis atau pakar muslim timur adalah meniscayakan bukan merupakan karya manusia tapi merupakan wahyu tuhan yang selalu dibutuhkan manusia ketika berdialektika dengan realitas sosial, namun acapkali al-Qur'an yang merupakan tuntunan tersebut menimbulkan kontradiksi fenomena sosial dalam belantika pemikiran islam, yang jelas bukan wahyu tuhan yang harus dipermasalahkan tapi penerapan nilai-nilai teks al-Qur'anlah yang perlu dianalisa dan harus dicermati kembali. Membumikan (merealitaskan) al-Qur’an meminjam istilah Dr. Quraisy sihab merupakan sebuah keniscayaan. Sebagai kitab suci terakhir, al-Qur’an menerobos perkembangan zaman, melintasi batas-batas geografis, dan menembus lapisan-lapisan budaya yang pluralistik. Karena memang kandungannya selalu sejalan dengan kemaslahatan manusia. Dimana terdapat kemaslahatan disitu ditemukan tuntunan al-Qur’an dan dimana terdapat tuntunan al-Qur’an di situ terdapat kemaslahatan. Merealitaskan al-Qur’an sesungguhnya tidak lain adalah melakukan upaya-upaya terarah dan sistematis di dalam masyarakat agar nilai-nilai al-Qur’an hidup dan dipertahankan sebagai faktor kebutuhan didalamnya bukan sekedar disakralkan dengan dibaca sebagai perwujudan nilai ibadah, bahkan bagaimana menjadikan nilai-nilai al-Qur’an sebagai bagian inheren (berhubungan erat) dari perbendaharaan nilai-nilai lokal dan universal didalamnya sehingga merealitaskan al-qur'an bisa terealisasi sesuai dengan nilai-nilai humanisme dalam realitas sosial kemasyarakatan.

Proses merealitaskan al-Qur’an dalam lintasan sejarah menarik untuk dicermati. Kitab suci ini secara utuh bersumber dari Tuhan, tetapi tidak diturunkan sekaligus. Kondisi obyektif al-Qur’an diturunkan selama kurun waktu 23 tahun dengan dua fase yang relatif berimbang, yaitu fase makkiyyah dan fase madaniyyah. Ini semua menjadi isyarat bahwa merealitaskan al-Qur’an di dalam masyarakat membutuhkan waktu dan proses panjang. Asas dalam merealitaskan al-Qur’an menurut Dr.Quraisy sihab sekurang-kurangnya mempunyai tiga prinsip, yaitu: 1) meniadakan kesulitan (‘adam al-haraj), 2) pembatasan beban (taqlîl at-taklîf), dan 3) penetapan hukum secara berangsur-angsur (al-tadrîj fi at-tasyrî’). Keberangsuran ini membuktikan adanya proses Dialogis (bersifat terbuka dan komunikatif) dan dialektis (berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah) antara al-Qur’an dan realitas sosial, ini bisa diandaikan bahwa al-Qur'an adalah sebuah teks yang harus terus dianalisa, diinterpretasikan bahkan diintrogasi secara ilmiah tanpa dipandang sebagai pelecehan keimanan meskipun secara fundamentalis menyerobot nilai-nilai keimanan yang sudah menjadi pakem resmi yang disepakati, sebab dalam melakukan analisis ilmiah terhadap suatu wacana baik al-Qur'an maupun hadist dengan melepaskan nilai-nilai keimanan adalah sebuah sikap yang niscaya adanya. Dan adalah hal yang wajar jika para interpreter masih terkungkung dengan rasa kekhwatiran akan terjadinya "pelanggaran" terhadap nilai-nilai keimanan yang diyakinya, maka secara otomatis produktivitasnya akan mengalami kegersangan prinsip dalam menginterpretasikan wacana teks.

Kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh melalui pengkajian ilmiah bersifat relatif, karena merupakan hasil dari kerja akal manusia yang terbatas. Ia mengandaikan sejumlah asumsi, disamping dilatarbelakangi oleh kondisi sosio-kultural yang melitarinya dan dengan demikian bersifat kondisional dan provisional. Kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari sanapun bisa dikoreksi oleh penelitian berikutnya. Sementara iman bersifat sebaliknya. Ia bersifat mutlak dan tidak bisa diganggu-gugat karena iman adalah kepatuhan tanpa syarat.
Proses ini juga memberikan legitimasi (pernyataan yang sah) psikologis dan sosiologis untuk penerapan strategi bertahap dalam proses merealitaskan al-Qur’an. Dengan demikian, proses tersebut harus dipandang sebagai proses bekelanjutan, pergumulan yang tanpa henti, seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan umat manusia. Sebagaimana halnya nilai-nilai lain, proses akulturasi (pencampuran kebudayaan) dan enkulturasi (pembudayaan) nilai-nilai dasar al-Qur’an dalam lintasan sejarah tidak saja memberi warna baru kepada sasaran-sasarannya, karena ia membuka diri pada setiap budaya posistif sepanjang masa. Ini antara lain disebabkan karena sebagian besar ayatnya dapat mengandung aneka interpretasi dan karena kitab suci ini menghidangkan simbol (amtsal) yang sarat makna, lagi terbuka bagi nalar para cendekiawan. Di sinilah kekhususan al-Qur’an; ia memberikan kesempatan kepada setiap budaya untuk menafsirkan dan mengaktualkan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya sehingga fungsinya sebagai pedoman yang ideal dan utuh sepanjang zaman benar-benar suatu keniscayaan. Dalam kenyataannya, meskipun hanya satu al-Qur’an, tetapi terjadi spektrum keanekaragaman pemahaman dan penerapan ajaran di dunia Islam. Proses merealitaskan al-Qur’an tidak bisa menghindari fenomena kontak budaya , yaitu antara tuntutan untuk mewujudkan tata nilai yang haq dan kepentingan untuk memelihara keharmonisan di dalam masyarakat. Tentu saja dalam hal ini keharmonisan tidak boleh dikorbankan untuk menegakkan tata nilai yang haq, dan iapun tidak boleh dipertahankan bila dibangun atas landasan yang bathil.

Fenomena lain yang menarik untuk dicermati ialah adanya kecenderungan dikalangan intelektual muda Islam yang lebih familiar (akrab) merujuk kepada karya-karya filsafat dan ilmu-ilmu sosial ketimbang kembali kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadis dalam menyikapi problem sosial yang sedemikian rumit di dalam masyarakat. Mereka seolah-olah kehilangan daya tarik dan gairah untuk menghubungkan problem sosial kepada ayat-ayat al-Qur’an. Fenomena ini tentu tidak berdiri sendiri, tetapi terkait satu sama lain. Mungkin ini disebabkan adanya “monopoli” kalangan ulama dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an, sementara ilmuan lain di luar kategori ulama jarang diajak terlibat dalam proses merealitaskan al-Qur’an padahal akan meniscayakan sekali jika para ulama ahli tafsir dalam meriterpretasikan teks melibatkan pakar-pakar ilmuan yang memiliki kontribusi besar dalam menyelami dan spesialisasi dalam bidang ilmu tertentu seperti filsafat, teologi, fiqh, sosiologi bahkan pakar teknologi, sejarawan dan para pemikir lainnya.

Di samping itu, ‘Ulumul Qur’an termasuk disiplin ilmu keislaman yang sedikit sekali disentuh pembaharuan. Karya-karya klasik seperti al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân karya Az-Zarkasyi (w. 794 H) dan al-Itqân fi‘Ulûm al-Qur’ân karya As-Suyûthi (w. 911 H) masih tetap dominan dan eksis dalam kajian ‘Ulumul Qur’an yang datang berikutnya. Sementara, disiplin ilmu-ilmu sosial dan para ilmuannya mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dengan demikian, sesungguhnya letak persoalannya bukan pada al-Qur’an itu sendiri, tetapi media dan sarana, termasuk metodologi, dalam mana ia memperkenalkan dan mewujudkan dirinya dalam kemasan yang sudah mulai termakan usia, sehingga mungkin terasa kalah bersaing dengan disiplin ilmu-ilmu lain. Salah satu upaya merealitaskan al-Qur’an dalam konteks masyarakat modern ialah mengintrodusir metode-metode ilmu sosial dalam memahami dan mengartikulasikan nilai-nilainya di dalam masyarakat. Namun, ini bukan persoalan sederhana, karena masih terbentang jarak yang sangat panjang antara ontologi (cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup) ilmu-ilmu agama, termasuk ilmu-ilmu al-Qur’an, dan ontologi ilmu-ilmu sosial. Penafsiran al-Qur’an sebagai bagian dari ilmu agama bertolak dari perspektif transendental (menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian atau abstrak), yang melampaui dunia nyata, berangkat dari keyakinan dan hakikat kemanusiaan, sedangkan ilmu-ilmu sosial beranggapan segala sesuatu harus dapat diterangkan secara rasional dan berangkat dari sikap skeptis (keragu-raguan) sebagai perantara untuk menggapai keniscayaan maka merupakan konklusi yang tidak diragukan lagi bahwa keterlibatan antara kedua ilmu tersebut adalah suatu keharusan.

Spirit merealitaskan al-Qur'an yang tidak bisa ditolak lagi adalah perlunya mengangkat aspek kemanusiaan dalam syari’at Islam berdasarkan nilai-nilai universal al-Qur'an. Dalam banyak ayat al-Quran cenderung tidak terdapat "pembelaan kepada Tuhan", karena dia terlalu mulia, Mahakaya, Mahatahu dan Mahakuasa sehingga tidak membutuhkan pembelaan dari makhluqnya. Karenanya Tuhan "tidak perlu dibela" dan "di tolong". Yang semestinya mendapat perhatian adalah manusia, dalam rangka membangun kedamaian, keadaban dan keseimbangan. Segala bentuk penindasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia harus menjadi sorotan syariat Islam, sehingga dapat mendorong terealisasinya hak asasi manusia. Dalam beberapa ayat yang seringkali dilantunkan, “Tuhan langit dan bumi”, “Dialah Allah, Tuhan di langit dan Tuhan di bumi” memberikan inspirasi untuk menegakkan nilai-nilai langit dan nilai-nilai bumi yang berkaitan dengan hak-hak utama manusia. Karenanya syariat Islam harus menjadi penggerek untuk menciptakan perubahan, mengentaskan kemiskinan, menumpas kezaliman, menolong kaum lemah, membantu kalangan tertindas dan mempersatukan masyarakat yang tercerai-berai. Barangkali benar apa yang diungkapkan Dr.Hasan Hanafi, bahwa wahyu akan dianggap wahyu yang sesungguhnya, bukan karena diturunkan dari Tuhan belaka, akan tetapi tatkala wahyu itu dapat menjadi spirit dalam menciptakan perubahan demi membela kemaslahatan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Ibnu Hambal


Mengkaji Fikih Literalis Madzhab Hambali

Judul : Ibnu Hambal hayâtuhû wa ‘ashruhû 'arâuhû wa fiqhuhû
Tebal : 318 Halaman
Penulis : Imam Muhammad Abu Zahra
Penerbit : Darul fikri al-Arabi
Resensator : Hanif Hidayatullah

Ibnu Hambal atau Ahmad bin Muhammad bin Hambal as-Syaibânî adalah sosok yang punya hubungan darah dengan rasulullah dari moyangnya Nazâr bin Ma‘ad bin ‘Adnân alias keturunan arab asli. Menurut riwayat yang masyhur, beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan rabîul awal tahun 164 H. Dengan keturunan yang mulia itu tidak heranlah kalau kemudian beliau memiliki kepribadian yang luhur. Kata pepatah jawa "kacang ora adoh soko lanjarane". Beliau adalah tergolong orang yang sangat sabar dengan kondisi kemiskinan yang dialaminya, dalam keseharian beliau bekerja sebagai penjahit pakaian untuk dijual, yang hasilnya tidak seberapa.


Di samping juga berprofesi sebagai pemungut sisa-sisa panenan dari para petani yang sudah memanen hasilnya. Semua itu sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Namun hal itu tidak mengurangi semangat beliau untuk menjadi figur yang dikenang namanya sepanjang masa. Kesuksesan beliau sebagai penyandang titel Imam Madzhab bukan merupakan anugrah yang beliau raih dengan ilham ilmu ladunni (istilah kita), meskipun beliau adalah keturunan darah biru, namun beliau menghasilkan kesuksesan tersebut adalah dengan jerih payahnya yang luar biasa dalam mencari dan mendalami ilmu pengetahuan.Bagi Ahmad lingkungan juga sangat mendukung untuk membentuk kepribadian beliau yang luhur, karena di sekitar beliau tidak sedikit para ilmuan atau bisa dikatakan berjubel pakar-pakar ilmu yang mumpuni dibidangnya masing-masing. Namun meskipun berkembang pesat berbagai macam ilmu pada saat itu, beliau punya komitmen untuk mendalami pengetahuan yang menjadi idola hatinya saja.

Tak pelak kemudian keseharian beliau hanya di habiskan bergelut dengan hadis dan bidang fikih, karena dua ilmu itulah yang beliau gandrungi dalam dirâsahnya. Menurut Ibnu Jauzi yang merupakan murid beliau, dalam mendalami hadis dan fikih beliau pernah belajar kepada seratus pakarnya, termasuk diantaranya yang paling berperan penting adalah Hasyim bin Basyir bin Abi khâzim, seorang ahli hadis dan juga pakar fikih pada zaman imam Ahmad, yang mentransfer ilmunya dari sebagian tabi‘in seperti Umar bin Dinar dan az-Zuhri dalam bidang 'atsar Ibnu Umar dan Ibnu Mas‘ud. Peran Syaikh Hasyim inilah yang kemudian berpengaruh besar pada kepribadian Imam Ahmad sebagai sosok muhadditsîn.

Pasca mangkatnya Hasyim, tatkala beliau menunaikan ibadah haji, beliau bertemu dengan figur yang kelak berpengaruh besar membentuk karakter beliau sebagai seorang yang pakar dibidang fikih, disamping bantuan guru-guru beliau yang lain, beliau adalah Imam Syafi‘i yang dikagumi oleh Imam Ahmad sebagai figur yang pakar dalam bidang istimbath hukum fikih. Sehingga tidak heranlah beliau langsung mencari kesempatan untuk menimba ilmu As-Syafi‘i saat di masjidil haram dan kemudian diteruskan di Baghdat.

Sekilas Kondisi Politik

Imam Ahmad hidup pada masa dinasti Abbasiyah berkuasa. Kondisi politik bisa dikatakan sedikit stabil setelah berapa waktu sebelumnya sering terjadi perselisihan antara beberapa golongan. Seperti sekte Khawârij yang terkenal ekstrim sepak terjangnya, sudah tidak kelihatan lagi kekuatannya. Demikian juga kelompok lain yang sentimen kepada dinasti Abbasiyah seperti sekte Ulwiyun setelah pemerintahan dipegang oleh Harun ar-Rasyid tidak kelihatan lagi taringnya. Namun stabilitas politik mulai memanas lagi setelah adanya permaianan pemerintahan pada masa al-Makmun. Fitnah pun terjadi dikalangan pemerintahan dan berimplikasi terjadinya peperangan antara al-Makmun dengan menggandeng bala tentara persi menyerang bala tentara Arab, yang berakhir dengan kekalahan tentara Arab pada peperangan tersebut.

Berawal dari sinilah dinasti Abbasiyah mulai mengalami perpecahan. Ini diawali dari sistem pemerintahan yang sudah berubah dari sistem pemerintahan sebelumnya. Sudah tidak lagi memakai sistem yang dipakai oleh para khalifah pendahulunya, bahkan pemerintahan menggunakan sistem pemerintahan persi pada masa al-Makmun dan sistem pemerintahan ala turki pada masa al-Mu‘tashim. Maka tidak heran kemudian berdampak melemahnya pemerintahan dinasti Abbasiyah yang berakhir dengan terpecahnya dinasti Islamiyah tersebut yang sulit untuk dipersatukan kembali. Dalam kondisi seperti ini, Ibnu Hambal turut merasa prihatain dengan kondisi pemerintahnya, namun beliau tidak mampu berbuat banyak. Keprihatinannya tidak mempengaruhi jiwanya untuk berkecimpung dalam bidang politik, akan tetapi beliau luahkan perhatiannya untuk mendalami ilmu pengetahuan.

Teologi Ibnu Hambal

Beliau bisa dikatakan kurang berkecimpung dalam bidang ini, bahkan beliau tidak memperbolehkan mendalami studi ini secara mutlak tanpa bertendensi pada Al-Quran dan hadis, demikian juga terhadap perdebatan dalam bidang tersebut. Menurut beliau perdebatan dalam ilmu kalam hanya akan berimplikasi hancurnya sebuah kebenaran. Memahami ilmu adalah upaya untuk menemukan sebuah kebenaran. Sedangkan memperdebatkan ilmu hanya akan menyeret agama sebagai ajang perselisihan dan akhirnya agama hanya akan menjadi sumber permusuhan.

Namun kondisilah yang menjadikan beliau terpaksa menyentuh ranah perdebatan tentang kemakhlukan al-Qur‘an yang dipaksakan oleh khalifah al-Makmun yang berpahamkan Mu‘tazilah yang harus diakui dan diikuti oleh para fuqaha' dan muhadditsin. Meskipun mendapatkan penyiksaan dari al-Makmun dan dua khalifah setelahnya, Imam Ahmad tetap tidak mau mengakui bahwa al-Qur‘an adalah makhluk. Beliau tetap komitmen dengan pendiriannya mengikuti keyakinan salafiyun bahwa al-Qur‘an adalah firman Allah yang Qadim. Pada masa Imam Ahmad banyak bermunculan pula sekte-sekte Islam dan masing-masing memiliki pemikiran tentang teologi, sehingga wajar permasalahan akidah pada saat ini berkembang dengan pesat. Permasalahan yang mendapat sorotan tajam antara lain seputar permasalahan hakikat iman. Menurut golongan Jahmiyah bahwa hakikat iman adalah suatu keyakinan, meskipun tidak disertai dengan perbuatan dan tidak mengharuskan adanya syarat tunduk atau taat pada perintah tuhan.

Menurut Mu‘tazilah bahwa amal adalah sebahagian dari iman, sedangkan orang yang melakukan dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, jika masih mengakui keesaan Allah. Demikian halnya sekte Khawârij, menurutnya, amal adalah bagian dari iman namun pelaku dosa besar dihukumi kafir oleh mereka. Sedangkan menurut Ibnu Hambal yang merupakan pengikut salafiyun, bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, bisa bertambah dengan prilaku yang baik dan bisa berkurang akibat maksiat. Namun dalam menghukumi orang yang berdosa besar beliau tidak menghukumi kafir kecuali orang yang meninggalkan shalat lima waktu.

Fikih madzhab Hambali

Studi inilah yang menjadi sorotan kita kali ini, karena memang beliau mashur karena fikihnya, bukan sebagai pakar politik, teolog, hadis ataupun yang lainnya. Namun beliau ahli dalam bidang fikih bukan berawal dari studi beliau sebagai spesialis bidang fikih, akan tetapi diawali dengan pengembaraan intelektual beliau dalam bidang hadis, bahkan sosok Imam Ahmad ini menurut sebagian ulama seperti ibnu Qatîbah, ibnu Jarîr at-Thabarî dan al-Muqaddasî adalah al-Muhaddits bukan al-Fuqâhâ', dengan alasan bahwa fikih Imam Ahmad cenderung mendominasi hadis dan atsar, dan dalam madzhabnya tidak terdapat pemaparan tentang perbedaan pendapat para pakar fikih, sebagaimana yang terdapat pada madzhab-madzhab imam yang lain. Begitupun menurut al-Qadhi ‘iyadh bahwa dimasa Imam Ahmad banyak kitab-kitab fikih yang tidak asing ditelinga umat, ada Muhammad bin al-Hasân yang terkenal dengan fikih Iraqnya, ada Abu Yusuf dan juga Imam syafi‘i. Sementara menurut ijma' ahli sejarah, tidak terdeteksi sedikitpun tentang bukti bahwa beliau punya kitab yang membahas tentang fikih.

Namun meniscayakan, kalau seorang yang ahli dalam bidang hadis, pun ahli dalam bidang fikih. Seperti al-Bukhari, disamping beliau ahli dalam bidang hadis, disisi lain beliau juga punya pendapat tentang masalah fikih. Demikian halnya Imam Muslim, disamping pakar hadis, pun punya pandangan tentang permasalahan fikih dan mereka berdua tidak bisa dieliminasi atau diasingkan dari jama'at al-muhadditsîn. Begitupun Imam Ahmad bin Hambal, beliau disatu sisi adalah ahli fikih, namun disi lain beliau juga adalah figur yang pakar dalam bidang hadis. Menurut Ibnu al-Qayim al-Jauzi meskipun beliau tidak mewariskan kitab fikih, namun beliau menitipkan fatwa-fatwanya kepada para muridnya. Dan muridnya yang berhasil mengumpulkan menjadi sebuah kitab fikih madzhab Ibnu Hambal adalah Abu bakar al-Khalâl. Setelah Imam Khalâl mengumpulkan dalam bentuk kitab, kemudaian kitab itu dikaji oleh para murid-muridnya disebuah tempat perkumpulan yang bernama al-Mahdi yang berada di Baghdad. Dalam pertemuan inilah kemudian Madzhab imam Hambal dideklarasikan sebagai madzhab resmi.

Perangkat Penggalian Hukum Fikih

Di riwayatkan oleh al-‘Alîmî, Abdullah bin al-Waraq berkata: Aku belum pernah melihat ulama sehebat Ibnu Hambal. Beliau ditanya, apa kelebihan Ibnu Hambal? Beliau menjawab, Ibnu Hambal pernah mendapatkan pertanyaan sebanyak enam ribu permasalahan. Lalu beliau menjawab dengan hadasnâ wa akhbarnâ.
Ini mengindiskasikan dua hal: Pertama, Tampak bahwa beliau sangat pakar dalam bidang fikih, dengan kemampuannya bisa menuntaskan berbagai macam persoalan yang disodorkan kepadanya dalam jumlah yang banyak sekali. Kedua, Ibnu Hambal dalam memberi fatwa selalu bertendensi pada hadis nabi dan atsar sahabat. Dan beliau tidak akan menjawab dengan menggunakan rasio beliau sendiri, kecuali dalam kondisi terpaksa. Dan tidak akan menjawab persoalan yang belum pernah terjadi atau pertanyaan yang bersifat pengandaian, sebagai mana yang digagas oleh Imam Hanafi yang terkenal dengan fikih spekulatifnya (at-taqdîrî).

Menurut Ibnu al-Qayim al-Jauzi dalam meracik fikihnya, Imam Hambali menggunakan lima perangakat: Pertama, al-Qur'an dan hadis. Kedua, fatwa sahabat yang diketahui tidak adanya perbedaan pendapat dengan fatwa sahabat yang lain. Ketiga, jika terdapat perbedaan pendapat pada fatwa sahabat, beliau akan memilih fatwa yang lebih mendekati pesan dari al-Qur‘an dan hadis. Dan apabila tidak ditemukan kecocokan salah satu dari dua fatwa itu, maka beliau akan menyimpulkan ikhtilaf, dan akan menangguhkan keputusannya (mauquf). Keempat, memanfaatkan hadis mursal dan hadis lemah. Kelima, ketika tidak ditemukan perangkat empat diatas, dalam kondisi terpaksa beliau menggunakan perangkat qiyas dalam menggali sebuah hukum.

Disamping perangkat diatas ahli usul fikih menambahkan beberpa perangkat yang mewarnai fikih madzhab Hambali, antara lain: al-istishâb, al-mashâlih dan adz-dzarâi‘.Perangkat yang lain seperti fatwa tabi‘in, beliau menjadikan sebagai maslak alternatif, itupun ketika tidak menemukan lagi perangkat-perangkat diatas. Sedangkan ijma', beliau tidak menafikan secara mutlak pada setiap permasalahan fikih, seperti yang sudah diduga oleh sebagian orang, bahwa beliau menafikan ijma' ulama secara mutlak. Akan tetapi dalam beberapa permasalahan ijma', beliau hanya tidak mengakui beberapa argumen sebagian ulama pada masanya, seperti halnya tidak mengakui Abu Yusuf yang mengatakan bahwa pendapat al-Auza‘i adalah pendapat umum para ulama. Sebagaimana juga Imam Syafi‘i menolak beberapa pendapat ulama dalam beberapa masalah. Dan Imam Ahmad juga tidak mengambil ijma' yang bertentatangan dengan hadis shahih. Disisi lain beliau juga menetepkan beberapa permasalahan yang tidak ditemui perbedaan pendapat didalamnya. Dalam hal ini beliau akan mengadopsi ketetapan tersebut selama tidak ditemukan hadis yang terkait dengan permasalahan tersebut, namun beliau tidak mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan ijma‘ kamil.

Imam Ahmad dalam menggodok fikihnya juga menggunakan istishâb dalam kadar yang lumayan banyak seperti imam Syafi‘i guru beliau. Istishâb merupakan tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya. Standar kadar sedikit banyaknya para ulama madzhab menggunakan perangkat ini, terkait dengan kadar qiyas dan istihsân yang mereka gunakan. Jika qiyas dan istihsân banyak mewarnai istimbat fikih mereka, maka menggunakan perangakat istishâb kadarnya akan sedikit, seperti madzhab Hanafi dan Maliki. Sementara madzhab Syafi‘i dan Hambali tidak menggunakan qiyas kecuali dalam kondisi terpaksa. Maka perangkat tersebut banyak dipakai dalam menghasilkan hukum fikihnya. Ketetapan madzhab Hambali dalam menggunakan perangkat ini seperti halnya dalam masalah penyembelihan.

Para ulama salaf menetapkan sebuah kaidah fikih al-aslu fi adz-dzabâih at-tahrîm. Maka madzhab ini menetapkan hukum haram pada binatang yang hanyut sebelum disembelih meskipun terdapat bekas penyembelihan dibagian tubuh hewan tersebut. Karena tidak diketahui mati karena tenggelam yang tidak halal di makan atau mati karena disebelih yang halal dimakan. Kemudian madzhab Hambali juga menggunakan mashâlih al-mursalah sebagai perangkat untuk menghasilkan sebuah hukum, meskipun tidak bertendensikan sebuah dalil. Beliau menyetarakan kedudukan perangkat ini sama dengan qiyas, yakni jika tidak terdapat nash, fatwa sahabat dan juga hadis mursal serta dhaif. Meskipun ada diantara pengikut madzhab Hambali seperti at-Thufî yang mendahulukan mashâlih al-mursalah dari nash al-Qur‘an, dengan alasan bahwa nash bisa dinasakh dan di takhshîs sedangkan maslahah tidak bisa diganggu gugat, meskipun nash bisa selamat dari nasakh tapi tidak bisa bebas dari takhshís. Namun disinyalir bahwa at-Thufî dalam hal ini mengikuti metode berfikirnya Syi'ah Imamiyah yang berpendapat bahwa pintu nasakh dan takhsîs terhadap nash masih terbuka lebar.

Sadâd adz-dzarai‘juga menjadi pegangan madzhab Hambali dan merupakan pondasi fatwa mereka, karena setiap tuntutan yang dibebankan kepada setiap hamba, dituntut pula washilah untuk mewujudkan tuntutan tersebut. Ketika hamba dilarang melakukan suatu perkara maka dilarang pula alat yang bisa membantu terwujudnya perkara tersebut. Dalam hal ini mazdhab Hambali mempunyai dua pandangan: Pertama, memandang faktor pendorong prilaku manusia. Adakah tujuannya kearah yang halal atau yang haram. Kedua, memandang kepada aktifitas atau prosesnya, seperti orang yang menikahi perempuan dengan tujuan sebagai muhalîl talak tiga, bukan untuk mendirikan rumah tangga yang kekal. Juga seperti orang yang transaksi jual beli dengan tujuan tahâyul (manipulasi), bukan sekedar memindah kepemilikan barang dengan menyerahkan uang kepada pihak lain. Madzhab yang bayak memakai perangkat ini adalah madzhab imam Malik dan madzhab imam Hambali. Sedangkan madzhab Hanafi dan Syafi'i bisa dikatakan sangat sedikit menggunakan perangkat ini. Madzab Syafi‘i memandang hukum dari sisi dzhairnya saja, dan juga memandang perbuatan pada pristiwanya, tidak memandang kepada tujuan atau prosesnya.

KHAWÂRIJ


[Upaya Melacak Jejak Fanatisme yang Kronis dalam Sejarah Islam]

Hanif Hidayatullah

Prolog
Potret kondisi umat Islam pada periode kenabian nampak terfigurakan dalam sebuah kehidupan yang sangat indah, harmonis, dan tidak ditemukan adanya konfrontasi ideologis. Hal ini tidak lain karena dilatarbelakangi oleh pandangan hidup yang masih dalam koridor tuntunan Nabi, sehingga umat Islam bersatu dalam satu wadah yang tak terkotak-kotak oleh kepentingan sektarianistik.Namun sejarah Islam kemudian harus mengalami diskontinuitas menuju arah yang tidak menyenangkan, lantaran kebersamaan dan persatuan yang pernah mereka rasakan sudah tidak bisa lagi dipertahankan pasca wafatnya Muhammad saw.


Setelah Muhammad saw wafat, mulailah muncul konflik yang tak pernah reda, tradisi toleransi yang diajarkannabi tidak sepenuhnya dapat mereka aplikasikan dalam tatanan masyarakat, sehingga kebebasan emosional yang didominasi politik kekuasaan tak dapat dibendung lagi, yang akhirnya memperkotak-kotakkan umat, hal inilah yang meniscayakan timbulnya rasialisme dan fanatisme dalam tubuh umat Islam itu sendiri. Ini bisa dibenarkan termotifasi oleh sikap, bahwa bani Hasyim yang lebih terkesan dekat dan memiliki jalur kerabat dengan nabi, sehingga mereka gagal "menyeruput" manfaat kebersamaan dan hanya akan berimbas pada tereliminasinya citra Islam yang mengagungkan nilai toleransi antara sesama umat Islam.

Aroma kebersamaan semakin tercekcoki oleh gejala-gejala politik yang semakin memanas, saat tragedi tragis menimpa Utsman di kala beliau sedang membaca Al-quran yang mengakhiri masa hidupnya pada tahun 656 M di Madinah, konon peristiwa ini di latar belakangi sikap rasialisme Utsman yang tercermin dalam pemilihan dan sekaligus menempatkan gubernur atau wali daerah yang didominasi para kerabatnya atau mereka yang ada hubungan dengan dirinya yang kebanyakan dari kalangan orang–orang Quraisy, adapun sebelumnya sudah ditetapkan oleh amîrul mu'minîn Umar ibn-Khattab tanpa dominasi mereka (Quraisy), dan di sisi lain juga timbul bermacam–macam fitnah yang mewarnai latar belakang tragis itu.

Setelah terbunuhnya Ustman, membuat para pemberontak pemerintahan Ustman menjadi panik, yang mengharuskan mereka untuk cepat mengambil tindakan, karena umat membutuhkan pemimpin untuk mengendalikan pemerintahan, maka mereka menyusun strategi untuk secepatnya memilih dan membaiat khalifah yang baru. Disisi lain mereka khawatir para pejabat Ustman bertindak sewenang–wenang, sebab mereka masih memiliki kekuatan untuk melakukan tindakan setelah terbunuhnya Ustman. Kemudian Ali bin Abi thalib dipilih oleh kebanyakan kaum muslimin, mengalahkan calon–calon yang lain yang di prioritaskan oleh sebagian sahabat seperti Zubair dan Thalhah, yang akhirnya terbentuk kesepakatan untuk membaiat Ali sebagai khalifah ke empat.

Pada masa Ali inilah mulai muncul sikap ambisi kekuasaan dan sikap fanatisme pertama dalam Islam, yang menyebabkan umat Islam terkotakkan dalam kelompok Ali dan pendukung Mu'awwiyah di satu sisi, dan khawarij disisi lain. inilah akar munculnya sekte dalam Islam, dan khawarij merupakan sekte pertama yang berkepentingan politis, sebagai mana juga komplotan Mu'awiyah, sehingga keduanya dengan kepentingan politis status quo, tidak mampu lepas dari keterjebakan fanatisme yang menjadi latar belakang terkotak–kotakkannya umat Islam atas dasar kepentingan politik belaka. Dan yang paling terkesan adalah munculnya sekte Islam yang diawali dengan arbitrasi Mu'awiyah, setelah merasa tidak mampu lagi menahan gempuran Ali pada perang shiffîn, terkait dengan arbitrasi (tahkim) yang berujung pada kelengseran Ali, menimbulkan dampak sebagian pengikut Ali keluar dari kelompoknya, yang di nobatkan dengan golongan khawârij.

Sejarah Munculnya Khawârij: dari Politik ke Teologi

Sedikit disinggung dalam prolog, bahwa munculnya Khawârij tak dapat dilepaskan dari faktor politik, terutama pada saat Ali ra. menjadi khalifah. Nama khawârij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan pada mereka sebab mereka keluar dari barisan Ali setelah Ali menerima arbitrasi pada perang Siffîn.. Menyikapi tentang kapan mulai munculnya Khawârij, para ulama banyak berbeda pendapat. Al-Syahrastani mengatakan bahwa Khawârij adalah golongan yang keluar dari keputusan imam yang sudah disepakati jamaah dalam setiap zaman, baik itu pada zaman khulâfâ al-râsyidîn, pada zaman tâbi'in, dan imam dalam setiap masa. Sedangkan Abu al-Hasan al-Multhi mendefinisikan Khawarij sebagai sekelompok sahabat yang keluar dari golongan Ali, setelah tragedi Arbitrasi. Mereka mengkafirkan Ali, karena ia menyerahkan keputusan hukum yang bertendensi pada manusia.

Sementara dalam prespektif Ibn Hajar, Khawarij adalah golongan yang mengingkari kesepakatan Ali terhadap arbitrasi dan pemerintahan Utsman pada dekade terakhir. Terdapat pandangan lain bahwa Khawarij merupakan ahli bid'ah pertama dalam Islam, sebab mereka keluar dari ideologi dan suara mayoritas kaum muslimin. Kalangan Khawârij juga memiliki nama-nama populer antara lain seperti al-Harûriah, Asy-arah, al-Mâriqah, dan al-Muhakkimah. Sementara itu, kalangan Khawarij tidak mau jika disebut dengan nama al-Mâriqah, sebab mereka tidak merasa murtad dari agama yang mereka yakini.

Kaum Khawârij pada umumnya terdiri dari orang badui yang hidup di padang pasir yang tandus, penuh kesederhanaan, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain. Perubahan agama dari agama pagan menuju ke Islam sedikitpun tidak berpengaruh kepada sifat ke-baduwi-an mereka. Mereka tetap bengis, suka kekerasan, dan tidak takut mati. Sebagai orang badui, mereka jauh dari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, iman dan paham mereka merupakan iman dan paham yang sederhana, bernalar sempit serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik, meyebabkan mereka tidak bisa mengontrol diri dari penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka sendiri, walaupun peyimpangan dalam bentuk kecil. Inilah yang menjadi latar belakang Khawârij terpecah-belah menjadi friksi-friksi kecil, serta sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam pada waktu itu.
Khawârij merupakan sekte Islam yang berkarakter politis memiliki sekte sempalan yang sangat variatif, antara lain:

1. Al-Muhakkimah
Golongan ini adalah golongan yang keluar dari kelompok Ali, yang dilatarbelakangi oleh ketidaksetujuan mereka terhadap keputusan Ali dalam menyepakati arbitrasi yang diajukan Muawiyah, setelah terjepit akibat serangan Ali pada perang Siffîn, diantara pembesar mereka: Abdullah ibn al-Kawa', 'Atâb bin A'awar, Abdullah bin Wahab al-Râsibî, 'Urwah bin Jarîr, Yazîd Abî 'âshim Al-mahâribî, dan Harqaus bin Zuhair al-Bajullî. Mereka berjumlah dua belas ribu prajurit dan menetap di daerah Harura' yang merupakan bagian dari daerah Kuffah. Prinsip Muhakkimah antara lain: mengkafirkan Usman dan Ali serta orang-orang yang sependapat atas arbitrasi. Wajib mencopot imam atau bahkan membunuhnya jika tindakannya tidak sesuai dengan kebenaran, walau hanya berupa pendapat. Memperbolehkan tidak adanya seorang imam. Boleh membunuh anak-anak dan wanita yang tidak segolongan dengan mereka. Menyatakan kafir orang yang berbuat dosa besar. Tidak sah pernikahan seseorang yang tidak mengkafirkan Ali dan Usman, juga orang yang mengkafirkan golongan mereka, dan menganggap kafir semua orang yang tidak sepakat dengan mereka.

2. Al- Azâriqah
Mereka adalah pengikut Nafi' bin al-Azraq yang keluar dari Basrah menuju Ahwaj. Jumlah mereka lebih dari duapuluh ribu. Sekte ini memiliki prinsip antara lain: menganggap musyriq orang yang sepakat membela arbitrasi, yang dianggap kafir oleh Muhakkimah. Orang yang berdosa besar adalah kafir. Mereka menganggap musyrik orang yang tidak mau ikut memerangi Ali, walau dari golongan mereka sendiri. Mereka juga menetapkan ‘wajib’ menguji seseorang yang mengaku golongan mereka dengan memerintahkan membunuh tawanan yang tidak sepakat dengannya, jika dia mau membunuh, maka dia diakui sebagai golongan mereka, namun sebaliknya jika tidak maka dianggap munafik dan harus dibunuh. Golongan ini juga memperbolehkan membunuh kaum hawa dan anak-anak yang bukan dari golongan mereka, sebab mereka menghukumi anak-anak tersebut musyrik dan kekal dalam neraka (khâlidîna finnâri). Mereka mentiadakan hukum rajam bagi pezina muhshan dan hukum qadzf bagi penuduh zina muhshan. Memperbolehkan anggapan kafir pada nabi sebelum diutus, dan menganggap berkemungkinan kafir setelah diutus. Melarang membunuh dan bahkan melindungi ahl dzimmi meskipun tak sependapat dengan mereka, dengan dalih mengikuti jejak nabi yang melindungi dan memberi jaminan kepada mereka. Hukum potong tangan merupakan tindakan penyimpangan dan penyelewengan klaim mereka, mayoritas mereka mewajibkan shalat dan puasa bagi wanita pada saat menstruasi, sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa wanita yang menstruasi ‘dianjurkan’ shalat dan puasa, mereka mengharamkan taqiyyah (merahasiakan sesuatu secara pura-pura) dalam ucapan dan perbuatan, sebagaimana yang dijadikan prinsip oleh sekte Syi'ah.

3. Al-Najdâd
Mereka adalah golongan pengikut Najdah bin 'Amir bin 'Abdullah bin Sâd bin Al-mufrij Al–hanafi. Munculnya golongan ini di latar belakangi oleh ketidak sepakatan mereka kepada al-Azâriqah, dalam masalah menghukumi kafir terhadap orang yang tidak mau ikut memerangi golongan yang dianggap musuh, serta menghalalkannya al-Azâriqah dalam membunuh anak-anak dan wanita, juga memperbolehkan taqiyyah sebagaimana yang dilarang al-Azâriqah, prinsip yang menjadi karakter al-Najdâd diantaranya: Mengkafirkan mereka yang mengklaim kafir terhadap orang yang tak ikut berperang, yakni kalangan al-Azâriqah, mengkafirkan orang yang mengakui keimaman Nafi' bin al-Azraq, mereka meniscayakan golongan mereka tidak akan masuk neraka jahanam, kalaupun disiksa di neraka nantinya maka selain neraka jahanam, orang secara kontinu melakukan dosa kecil dihukumi syirik, sementara peminum arak, pezina, dan pencuri yang tidak kontinu, tidak diklaim syirik selama masih sepakat dengannya. Menurut mereka, manusia hakikatnya tidak butuh imam, mereka menghalalkan darahnya ahl dzimmi yang tidak sepakat dengan pendapat mereka.

4. Al-Shufriyyah al-Ziyâdiyyah
Mereka adalah pengikut Abdullah bin al-Shafar al-Sa'idi, meskipun mereka sepakat dalam agama dan keyakinan akan tetapi dalam beberapa masalah mereka berbeda pandangan dengan al-Azâriqah, al-Najdâd, al-Ibâdhiyyah, diantaranya mereka tidak mengkafirkan orang yang tidak ikut berperang, mereka tidak menggugurkan hukuman rajam dan tidak memperbolehkan membunuh anak-anak dari orang yang tidak segolongan dengannya dan tidak menghukumi anak tersebut kafir dan kekal dalam neraka. Adapun taqiyyah dalam versi mereka boleh dalam masalah ucapan saja, sementara dalam perbuatan mereka tidak memperbolehkan, mereka juga tidak mengklaim kafir dan musyrik kepada pezina, pencuri, dan penuduh zina, tapi mereka menghukumi kafir orang yang meninggalkan shalat dan lari dari medan pertempuran.

5. Al-'Ajâridah
Al-'Ajâridah adalah pengikut 'Abdul Karim bin 'Ajrad yang merupakan pengikut 'Athiyyah bin al-Aswad al-Hanafi, mereka terpecah menjadi sepuluh golongan, semuanya sepakat untuk tidak mendoktrin anak-anak sampai menginjak usia baligh, sehingga mengakui keislamannya. Mereka memiliki perbedaan dengan al-Azâriqah dalam beberapa masalah, bahwa al-Azâriqah menghalalkan harta musuh-musuhnya dalam setiap saat, sementara al-'Ajâridah tidak, kecuali setelah terbunuh pemiliknya. Pada satu sisi mereka sepakat dengan al-Najdâd. Dikatakan mereka merupakan pecahan dari golongan Baihasiyyah, terpisahnya dilatarbelakangi oleh ketidaksetujuan mereka terhadap pendoktrinan anak-anak dan beberapa masalah lainnya.

6. Tsa'âlibah
Meraka adalah pengikut Tsa'labah bin Maskan dan Ibn ‘Amir, yang awalnya adalah pengikut ‘Abdul Karim bin ‘Ajrad, namun ketika adanya perselisihan (ikhtilaf) dalam hal pendoktrinan anak kecil, maka mereka saling mengkafirkan. Pada waktu Tsa'alibah masih hidup, pengikutnya utuh dalam satu wadah yang tidak terpisah-pisah. Namun ia meninggal pengikutnya pun terkotak–kotak dalam beberapa firqah, diantaranya: pengikut yang masih setia pada Tsa'alibah yang masih mengakui keimaman Tsa'alibah, Firqah Ma'badiyyah, Akhnasiyyah, al-Râsyîdiyyah, al-Makrûmiyyyah, dan al-Syaibâniyyah.

7. Al-Ibâdhiyyah
Merupakan pengikut 'Abdullah bin Ibâdh, yang merupakan firqah termasyhur dari kalangan firqah Khawârij yang lain, yang masih memiliki kontribusi besar sampai sekarang. Mereka banyak tinggal di daerah Oman, Zanjabar, Tunisia, dan Timur Afrika. Mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan di jazirah Arab, khususnya di daerah Makkah, Hadramaut, dan Madinah. Mereka tidak mau dinisbatkan dengan Khawârij, bahkan mereka menklaim dirinya Ibâdhiyyah seperti halnya Syafi'i, Hanafi, dan Maliki. Mereka menamakan Ibadhiyah karena menolak konsep mewajibkan pemimpin dari kalangan Quraisy, sebagaimana yang disepakati kalangan Syi'ah. Aqidah mereka kebanyakan sepakat dengan Ahli Sunnah. Hanya sedikit saja yang berbeda, mereka berargumen berdasarkan al-Quran dan hadîts, tetapi mereka memiliki ijma' dari kesepakatan para pakar kalangan mereka sendiri. Sepeninggal 'Abdullah bin Ibadh, mereka terpecah menjadi tujuh firqah dengan memasukkan Baihasiah merupakan bagian dari firqahnya, yaitu: al-Yazîdiyyah, al-Hafshiyyah, al-Hârîtsiyyah, al-Ibrâhîmiyyah, al-Maimuniyyah, al-Wâqîfiyyah, dan al-Baihâsiyyah.

Statemen Sunni terhadap Ideologi Khawârij

Jika kita menganalisa sejarah yang terkait dengan aliran-aliran dalam Islam, kita akan bisa memetik kesan bahwa dalam diskursus teologi Islam, masalah klaim sesat, ahli bid’ah, bahkan pengkafiran, sudah menjadi warna-warni yang menghiasi udara persaingan antar aliran dan, disadari atau tidak, hal inilah yang menyebabkan Islam seakan kehilangan ruh keharmonisan yang sudah mengakar dalam relung jiwa Islam itu sendiri. Dalam sekte khawârij sendiri, penyebab terpecah-belahnya komunitas mereka adalah karena diantara mereka mudah mengklaim kafir dan terlalu berlebihan dalam memojokkan kolega sendiri, seperti al-Azâriqah yang mengatakan bahwa kelompok mereka yang tidak ikut berjuang menggempur musuh dianggap musyrik dan kafir, sedangkan al-Najdâd mengklaim kafir terhadap orang yang mengatakan kafir orang yang tidak ikut berperang. Selain itu, dalam al-Najdâd sendiri terjadi pengkafiran antara firqah yang dikepalai oleh 'Atiyyah bin al-Aswad vis a vis Abi Fudek dan firqah yang taat pada pemimpin pertama. Pengkafiran juga terjadi antara Ma'bâdiyyah, Al-akhnâsiyyah, dan al--Syîbâniyyah, yang ketiganya merupakan pecahan dari al-Tsa'alibah, yang masalah pengkafirannya sudah disinggung pada prinsip-prinsip masing-masing firqah di atas, terutama adalah dalam pemasalahan yang bersifat parsial (furu'iyyah).

Sementara Khawârij dalam menyikapi doktrin yang digelindingkan sekte Syi'ah banyak yang bertolak belakang, antara lain jika Syiah mengkuduskan Ali dan bahkan sebagian kalangan mereka menyatakan Ali seorang nabi, tapi Khâwarij mengklaim Ali kafir dan memposisikan Abdurrahman bin Muljam pembunuh Ali sebagai sosok yang paling terpuji, bahkan yang lebih tragis sampai penumpahan darah, dan menghalalkan perampasan harta mereka, membunuh wanita dan anak-anak yang tidak tahu apa-apa, baik pada masa Dinasti Umawiyah atau Abbasiyah. Selain itu, masih bayak lagi tindakan mereka yang bisa dikatakan tidak mejunjung nilai humanisme antara sesama umat Islam. Radikalisme mereka ini memang tidak ada yang mengalahkan, dan memang itulah yang menjadi karakter Khawârij. Hal ini dapat dimaklumi karena pandangan hidup mereka jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Dr. Ali Muhammad Shalabi, salah seorang pakar Ahli Sunnah, menuturkan secara sepintas tentang latarbelakang tindakan radikal mereka, bahwa khawârij dalam menggelindingkan komentarnya tentang hukum tidak didasari pemahaman syariat yang matang, sehingga mereka tidak mampu mempertimbangkan kemaslahatan dan kerusakan yang bersifat destruktif.

Lebih jauh lagi, dalam mempelajari ilmu pengetahuan, mereka tidak dibimbing oleh seorang guru yang pakar dalam bidangnya, sehingga mereka mengkultuskan sebuah hukum sekehendak nalarnya. Hal ini disebabkan mereka hanya memandang sebelah mata kepada para ulama dan bahkan cenderung untuk menjauhinya, serta sikap tidak mau taqlid kepada siapa pun, sementara mereka adalah kalangan yang masih awam. Semboyan "tidak ada hukum kecuali hukumnya Allah" (lâ hukma illallâhu) merupakan doktrin dasar untuk mengembangkan sayap Khawârij, dan merupakan slogan kebenaran dengan interpretasi sembarangan untuk melawan kebenaran, sehingga dengan seenaknya mengatakan Ali kafir, sebab Ali memutuskan sebuah hukum dengan menggunakan kesepakatan komunitas sendiri. Mereka memandang ungkapan sahabat, tâbi'in, dan para ulama yang memiliki hujjah yang kuat, sama derajatnya dengan ungkapan mereka, sehingga mereka tidak mau taqlid kepada siapa pun, kecuali pendapat kalangan mereka sendiri. Padahal para sahabat dalam mengaktualisasikan suatu pendapat tidak terlepas dari metode yang diwariskan Rasulullah dalam mencerna hukum, sehingga meniscayakan untuk diikuti, sesuai dengan kebutuhan realitas pada masa itu.

Dalam masalah pengkafiran, mereka sangat sembarangan dalam mengklaim kafir terhadap komunitas lain, tanpa pandang bulu, sehingga menghalalkan untuk dibunuh dan dirampas hartanya, dengan hujjah yang irasional. Para ulama Sunni dalam masalah pengkafiran memberikan beberapa syarat yang harus ada pada orang yang diklaim kafir, diantaranya harus menyaksikan sendiri bahwa apa yang ia lakukan, ucapkan, dan yakini, benar-benar tindakan yang menentang kebenaran yang digariskan Islam. Disyaratkan pula mereka paham akan hakikat kebenaran yang sesuai dengan syariat, sehingga tidak selayaknya cepat mengklaim kafir terhadap komunitas atau orang lain.

Juga harus diperhatikan, bahwa apa yang dilakukan adalah kehendak hati nuraninya sendiri, yang bertentangan dengan kebenaran yang sudah dipahaminya, sebab kesalahan dalam pemahaman yang masih dalam situasi ijtihad tidak memenuhi syarat untuk diklaim kafir. Ibnu Taimiyyah mengatakan: bahwa para ulama salaf sering berpendapat salah, dalam masalah qauliyyah maupun amaliyah, dan berselisih dalam beragam permasalahan, tapi tidak pernah di antara mereka saling mengkafirkan, mengklaim fâsiq atau maksiat. Syarat terakhir diperbolehkan mengklaim kafir, jika perbuatan yang menunjukkan kekufuran dilakukan dengan inisiatifnya sendiri, tidak dalam kondisi terpaksa, sebab Allah tidak menghukum hamba-Nya yang durhaka karena salah, lemah, bodoh, dan dalam kondisi terpaksa.

Imbas Perang Ideologi

Disayangkan, munculnya varian aliran yang beriringan dengan munculnya perdebatan sektarianistik yang lekat dengan nuansa ideologis dan politis acap diwarnai oleh otoritarianisme dan monopoli kebenaran tunggal sesuai yang mereka yakini, maka, dalam konteks seperti ini, perbedaan justru akan berimbas pada munculnya image nihilnya toleransi dalam tubuh internal umat Islam. Bahkan yang lebih parah akan berimbas pada meluncurnya hukum-hukum anarkis, sehingga ajaran Islam yang sejatinya mentitahkan nilai-nilai humanisme dan toleransi secara spontan berubah menjajakan terorisme dan intoleransi. Dampaknyapun kronis, jihad yang pada mulanya hanya instrumen mempertahankan agama berubah menjadi alat bagi para penguasa untuk memaksakan kebenaran kepada pihak lain.

Setelah kita mencermati bentangan sejarah tentang diskursus Khawârij, akan terbaca, bahwa Khawârijlah yang merupakan ekspantor awal yang mengeruhkan realitas yang harmonis penuh kedamaian, dengan menebarkan warna merah yang mengerikan, dengan menyeruakkan jargon penuh anomali bahwa Islam tidak akan sempurna melainkan dengan jihad dan memerangi sebagian kaum muslimin yang tidak merangkul konsep ideologi mereka. Disusul lagi oleh Qaramithah yang merupakan firqah Syi'ah yang sadis pada masa Dinasti Abbâsiyyah, yang memiliki misi menuntut egalitarianisme, karena mereka merasa dimarginalkan oleh Dinasti Umawiyah. Mereka berkembang di daerah Iraq, Syam, dan Hijaz. Upaya mereka pun tidak kalah dengan Khawârij dalam melebarkan sayap anarkisme di berbagai penjuru, sehingga bumi Islam saat itu banyak dilumuri dengan warna merah kehitaman akibat konflik yang ditimbulkan oleh mereka. Konflik itu, tanpa bisa dibendung, telah menyebabkan jiwa kaum muslimin dibayangi ketakutan dan keresahan. Qaramithah tercatat sebagai komunitas yang berani memindahkan hajar aswad dari tempat aslinya, yakni di dinding Ka'bah. Mereka juga sosok yang "berani" tidak mengakui nabi Muhammad sebagai nabi terakhir dan menyatakan Ali dan Muhammad bin Ismail merupakan utusan Allah setelah nabi Muhammad. Qaramithah dibawah bendera Ismailiyyah, bertubi-tubi menyerang Ka'bah, dan banyak orang yang sedang melaksanakan haji menjadi sasaran keganasan mereka, sampai air zam-zam terkotori oleh percikan darah para korban. Peristiwa ini terjadi pada tahun 278 H di bawah pimpinan Hamdan bin al-Asy'ats.

Fanatisme teologis juga berdampak buruk terhadap semakin menganganya antagonisme antara Ahl Sunnah vis a vis Syi'ah. Konon di daerah Damaskus ada seorang dari kalangan Syi'ah yang bernama Abu 'Abdurrahman al-Nasai, datang kepada golongan Sunni yang berada di suatu masjid. Laki-laki tersebut mempertanyakan tentang keutamaan Khalifah Muawiyah, sehingga kalangan Sunni merasa tersinggung, sebab laki-laki tersebut seolah-olah menghina dan merendahkan Dinasti Umawiyah, maka dengan spontan jama'ah tersebut menyeret laki-laki itu keluar masjid dan menginjak-nginjaknya sampai mati. Dari Mu'tazilah vis a vis Sunni, konflik yang dilatarbelakangi khilafiyah tentang masalah identitas Al-quran, kalangan mu'tazilah yang pada masa itu mendapat dukungan dari pemerintah pada masa daulah 'Abbâsiyyah yaitu Ma'mun dan Mu'tasim, mereka tega menganiaya dan membunuh kalangan sunni yang tidak mau mengakui pendapat mereka, bahwa Al-qur`an adalah makhluk , serta masih banyak lagi fakta sejarah dan bahkan saat ini, yang terkait dengan dampak dari ta'asub yang menyeret pada keegoisan antar sesama umat Islam, secara tidak sadar mereka telah menuhankan komunitas mereka serta mendominasi, bahwa kebenaran adalah absolut, hanya ada pada komunitas mereka sendiri.

Teologi Inklusiv, sebuah tawaran menuju terciptanya Keakraban antar Komunitas

Semua aliran teologi dalam Islam berpegang teguh dengan wahyu untuk menjustifikasi pendapat mereka masing-masing, baik ahl sunnah, Syi'ah, maupun Khawârij, namun terdapat sisi lain yang tidak bisa terlepaskan, bahwa perbedaan yang terjadi pada sekte Islam syi'ah, khawârij dan ahl sunnah, yang awalnya adalah satu komunitas di bawah bimbingan nabi, adalah perbedaan interpretasi terhadap wahyu yang berangkat dari politik setelah wafatnya beliau, sehingga merambah pada pembacaan ulang terhadap metodologi interpretasi yang sudah terformat rapi itu, bahkan sudah mapan untuk di aplikasikan dalam realitaas masa itu.

Perselingkuhan interpretasi akibat dekonstruksi metodologi yang pendayagunaannya melibatkan konsep politis oleh pakar-pakar yang telah menyumbangkan daya pikir mereka pada saat itu, melahirkan pula disiplin-disiplin ilmu yang berpengaruh besar pada kerepotan implementasi ideologi, sehingga berimbas pada ketidakdinamisan dalam menghadapi tuntutan nilai-nilai humanisme dan toleransi yang tersurat dalam wahyu tersebut, terbuktilah bahwa akar fitnah yang mewarnai realitas hidup umat Islam sehingga memperkeruh keromantisan serta memporak-porandakan kebersamaan dan keakraban adalah berawal dari dialektika politis.

Komunitas khawârij yang terpotret sampai sekarang, sejatinya saat ini banyak yang hanya tinggal nama, kecuali ibadhiyah saja yang masih eksis sampai sekarang. Sementara dari sekte syi'ah yang masih ada sampai sekarang dan yang masih memiliki prioritas untuk memproyeksikan konsep mereka, hanyalah Itsna 'asyriyah dan syi'ah Zaidiyyah. Mengintip posisi khawârij dan syi'ah dalam melebarkan sayapnya dalam realitas kekinian, ternyata tidak meniscayakan, bahwa konsensus generasi terdahulu bersifat mengikat generasi setelahnya, walaupun ada sekelumit kesan keterpengaruhan intelektual mereka. Bahkan sebelumnya bisa kita cermati, bahwa tidak ditemukan perbedaan yang serius antara ahl sunnah dan ibadiyyah, demikian juga antara syi'ah dan ahl sunnah. Terbukti bahwa, Abu hanifah dari pihak sunni pernah mempelajari fikih dan dasar teologi di bawah bimbingan Imam Zaid bin Ali yang beraliran Zaidiyyah, pun dalam beberapa masalah Abu Hanifah banyak cenderung sepakat dengan ulama syia'ah di banding Imam Syafi'i, padahal beliau adalah pakar sunni, sementara imam Zaid adalah murid dari Wasil bin Atho` yang merupakan pakar dari Mu'tazilah, demikian juga Imam Malik bin Anas adalah murid dari Imam Ja'far Shâdiq yang merupakan pembesar syi'ah Imâmiyyah dan kebanyakan imam-imam madzhab ahl sunnah dalam mempelajari ilmu, sanadnya tidak terlepas dari Imam Ja'far, Imam Bukhari dari pakar hadits, menghafal dan mengumpulkan hadits dibawah asuhan 'Amran bin Hathan yang beraliran khawârij, di sisi lain, Wasil bin Atha` dan Umar bin 'Abid mengambil hadits dari Hasan Bashri yang merupakan murid Muhammad 'Abduh syeikh besar sunni dari kalangan tâbi'in. Dari situ terlihat, bahwa antara ahl sunnah, syi'ah, dan khawârij sudah ada keakraban, bahkan dari kalangan pembesar sunni, yang banyak hasil pemikirannya diadopsi oleh sebagian besar umat Islam yang bermadzhab ahl sunnah, adalah selain dari bimbingan pakar sunni juga hasil dari belajar kepada gurunya baik dari kalangan syai'ah maupun khawârij.

Saat itu perbedaan antara khawârij dan syi'ah hanya berkisar pada masalah imamah, sementara saat ini aktualisasi tentang imamah sudah tidak di terapkan oleh negara manapun, kecuali negara Yaman. Antara syi'ah dan aliran lain, termasik sunni, perbedaan yang mencolok hanya pada masalah mut'ah yang merupakan pembahasan fikih . Dari situ kita dapat mengatakan, bahwa antara syi'ah, khawârij, dan sunni tidak terdapat lagi perbedaan teologi yang "menghawatirkan", dan berdampak kronis terhadap keharmonisan dan keakraban antara sesama umat Islam, meskipun berlainan aliran. Kalaupun ada, itu merupakan tindakan orang tolol, jumud dan kalangan awam yang terlalu fanatik terhadap doktrin komunitas yang diyakini paling benar sendiri (ghuluw).

Epilog
Perbedaan yang merupakan sunnatullah, menunjukkan kekreatifan manusia, meskipun di latarbelakangi suatu kepentingan, baik kepentingan yang sifatnya individu atau kepentingan yang sifatnya komunitas, memiliki peran yang sama untuk membuahkan kemaslahatan bagi kehidupan umat. Sunni, Syiah, dan Khawarij merupakan kelompok yang memiliki perbedaan yang berawal dari suatu kepentingan yang sifatnya komunal yakni kepentingan politis untuk memperjuangkan komunitas, sehingga prinsip teologi yang pada mulanya satu konsep berubah menjadi konsep yang beraneka ragam, bahkan bertolak belakang.

Sayangnya udara persaingan yang mereka hembuskan terkadang menunjukkan persaingan yang tidak sehat, sehingga bukan tercipta kemasalahatan umat tetapi menambah problema yang mengarah kepada perpecahan. Setidaknya itu merupakan pelajaran bagi generasi kontemporer, bahwa akar fitnah yang terjadi pada generasi masa lalu adalah berawal dari sikap rasialisme dan fanatisme yang ahirnya berimbas pada intoleransi dan berujung pada tindakan anarki yang tragis antar sesama umat Islam.

Membludaknya atribut yang di pakai oleh komunitas Islam modern terkadang juga menimbulkan dampak kronis terhadap keharmonisan umat, saling mengklaim bidah, sesat dan bahkan kafir sering teraplikasikan secara radikal, ini tidak lain adalah di latar belakangi oleh sikap fanatisme yang berlebihan dan berpijak pada konsep, bahwa kebenaran hanya milik pihak tertentu.Waallahu a'lam bi al—shawab.