Hanif Hidayatullah
Dalam studi Bahasa Arab ilmu nahwu merupakan hal yang sangat vital untuk dikuasai. Bukan hanya faham teorinya, namun sekaligus trampil dalam prakteknya. Sebab dalam tataran realitas, tidak sedikit teridentifikasi adanya kebingungan pada seseorang yang hapal dan faham teori namun kurang bisa mengaplikasikan dalam sebuah teks, terutama pada syair dan teks hadis serta al-Qur‘an. Ilmu nahwu yang merupakan bagian dari materi gramatika arab sangat erat kaitannya dengan ilmu ushul an-nahwi, karena ushul an-nahwi merupakan akar sedangkan ilmu nahwu adalah pohonnya yang penuh dengan ranting dan bercabang-cabang. Jelas pohon tanpa akar tidak akan bisa bertahan lama, apalagi bisa tumbuh dan berkembang.
Dalam belantika keilmuan Islam yang banyak bersumber dari bahasa arab, nahwu meruapakan alat untuk membuka kran informasi yang tidak bisa diabaikan. Sebab untuk menemukan sebuah pemahaman yang meniscayakan, ilmu nahwu adalah kuncinya yang harus selalu dibawa dan tidak bisa dilupakan sesaat pun. Namun bagi mereka yang ingin mengkaji secara mendalam dan mengembangkan ilmu nahwu pada tataran realitas kehidupan yang tak pernah berkesudahan sesuai dengan konteks waktu dan tempat, tidak akan bisa terlepas dari kajian dalam bidang usulnya.
Ilmu ushul an-nahwi memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah teks yang berbahasa arab dan perannya adalah sangat penting sebagaimana peran pada ilmu nahwu. Apalagi bagi mereka yang memiliki keinginan untuk memperdalam bahasa arab, ilmu ini tidak akan bisa terpisahkan untuk dianalisa dan dikuasai. Alasannya antara lain:
• Menyingkap standar kaidah ilmu nahwu apakah muthlak kebenaranya ataukah relative.
Ketika berhadapan pada sebuah teks, kita akan selalu dihadapkan pada kata dan susunan kata atau kaliama yang bervariasi ragamnya. Mulai dari kalimat isim, kalimat fi‘il, kalimat huruf dan yang serupa dengannya.Demikian juga susunan kalimatnya, mulai dari susunan ismiyah, fi‘liyah, idhafiyah dan lain sebagainya, yang bentuknya juga beragam. Untuk membaca secara fashih Tak jarang hal ini membuat kita mengernyitkan dahi karena sibuk mimikirkan untuk menerapkan bacaan yang sesuai dengan kaidah yang telah dibakukan oleh ulama.Umpamanya ketika kita bertemu dengan susunan istighal, misalnya عمرا ضربته atau susunan munada يا عبدا الله misalnya, sesuai dengan kaidah nahwu bahwa di dalam kedua susunan tersebut ada kata yang terbuang, yakni ضربت dan ادعوا. Ketika kita belum menganalisa usul an-nahwi, kemungkinan besar kaidah seperti ini akan kita niscayakan mutlak dan tidak bisa diganggu gugat dan harus demikian. Namun kita akan sadar bahwa susunan dan pentakwilan tersebut hanyalah meruapakan pengaruh teori amil yang digagas ulama demi memudahkan dalam menerapkan i‘rab pada kalimat tersebut. Dan boleh-boleh saja kita mengabaikan teori tersbut, jika lebih memberi kemudahan kepada kita. Di sisi lain juga kita akan di hadapakan dengan kata-kata yang taufiqi yang tidak bisa di rubah dan diperbaharui, karena merupakan istilah yang ciptakan oleh tuhan. Dalam artian, antara ijtihadi dan taufiqi dalam kaidah an-nahwiyah hanya akan kita fahami jika kita menganalisa metodologi dan epistemologi dalam ushul an-nahwi.
• Menganalisa latar belakang munculnya sebuah kaidah.
Munculnya sebuah aturan atau teori yang digagas oleh para pakar nahwu tidak akan terlepas dari metodologi yang dipakainya. Hal ini tidak akan terfikirkan oleh para pengkaji gramatiaka arab, ketika tidak lebih dahulu menganalisa ushul an-nahwi. Kerangka dasar yang digunakan oleh para pakar untuk menelorkan sebuah teori biasanya tidak terlepas dari ijma, qiyas, istishab dan sima‘i. Misalnya dalam i‘rabnya fi‘il mudhari‘ yang asalnya adalah mabni, karena asalnya fi‘il adalah mabni. Dalam memproduksi sebuah teori bahwa fi‘il mudhari adalah mu‘rab tidak terlepas dari metode yang di pakai oleh pakar nahwu, yakni metode qiyas. Fi‘il mudhari‘ dianalogikan dengan isim yang asalnya adalah mu‘rab dengan dua alasan. Petama sama-sama ‘am sebelum ditakhsis dengan huruf sin dan saufa dan lain-lain pada zamnnya fi‘il mudhari‘, dan nakirahnya kalimat isim sebelum kemasukan al atau idhafah dan perangkat yang lain. Setelah itu bisa sama-sama khas setelah dimasuki perangkat tersebut. Bisa khusus zaman mustaqbal ketika di masukin saufa pada fi‘il mudhari‘ dan bisa ma‘rifat setelah di masuki al. ‘Ilat yang kedua sama-sama bisa dimasuki lam al-ibtidaiyah. Karena antara fi‘il mudhari dan kalimat isim memiki titik kesamaan maka fi‘il mudhari bisa mu‘rab sebagaimana isim.
• Untuk mengetahui keberanian orang arab dalam mengolah gramatika arab dalam kalam natsar maupun syair.
Ketika kita memahami usul an-nahwi berati kita faham akan metodologi yang digunakan oleh ulama dalam menggagas sebuah teori yang matang dan siap untuk diapalikasikan dalam sebuah teks, baik yang terkait bacaan yang fushah ataupun kebenaran susunan uslub saat menulis atau ta‘bir. Nah sering kita jumpai bentuk kata atau susunan sebuah kalimat yang tidak sesuai dengan kaidah yang sudah disepakati oleh para ulama. Misalnya kata كل, kata ini telah disepakati untuk tidak bisa dimasuki ال , namun Abu Ali al-Farisi memberanikan diri melakukan rekonstruksi terhadap kesepakatan tersebut. Beliau melakukan analisa dengan menggunakan metode analogi terhadap kata كل yang selalu butuh pada مضاف اليه dengan مضاف pada kata yang lain. Ketika مضاف pada kata yang lain bisa dimasuki ال ketika مضاف اليه dibuang, maka sudah tentu كل bisa dimasuki ال jika مضاف اليه nya di buang.
Bahkan menurut muhammad Mishbal dalam al-balaghah wal ushul, bahwa standar keberanian orang arab dalam mengolah kata adalah di titik beratkan pada pesan yang di sampaikan bukan pada kaidah nahwu yang sudah di sepakati. Sedangkan menurut Syauqi Dhaif bahwa para ulama klasik dalam membuat standar dalam kaidah nahwu dengan tujuan memberi kemudahan untuk mempelajari bahasa arab belum mencapai tujuan yang diharapkan. Sehingga beliau membuat trobosan baru dengan melakukan rekonstruksi dan dekonstruksi pada ushul an-nahwi lewat bukunya at-Tajdid an-Nahwi dan Taisir an-Nahwi at-Ta‘lîmî ma‘a nahji tajdîdihî sebagai solusi untuk mewujudkan kemudahan tersebut.
• Mengetahui penyebab ikhtilaf dikalangan nahwiyyin.
Sudah menjadi rahasia umum para pengkaji gramatika Arab, bahwa kajian ilmu nahwu klasik maupun kontemporer banyak berangkat dari teori yang diproduksi oleh ulama klasik dari bashrah dan kufah. Bahkan menurut sebahagian ulama bahwa ijma adalah kesepakatan dua kubu tersebut dan menafikan yang lainnya. Masing-masing dari dua kubu tersebut terkadang memiliki pandangan yang berbeda dalam metode maupun epistemologi. Ketika terdapat perbedaan pada hal tersebut sudah tentu akan meniscayakan produk yang berbeda pula dalam menghasilkan sebuah teori. Nah dalam studi nahwu karya para ulama yang sudah instan, sering kita menemukan pendapat dan pandangan yang berbeda dalam membahas satu permasalahan. Dan latar belakang perbedaan tersebut akan bisa kita fahami dan maklumi jika kita menganalisa pemikiran mereka yang tidak akan terlepas dari kajian ushul an-nahwi.
• Berpegang teguh pada ketetapan kaidah dengan alasan yang jelas dan kuat tanpa taklid buta.
Dalam realitanya taklid meruapakan posisi yang meragukan dalam bidang apapun, tak terkecuali dalam mengadopsi dan mengaplikasikan kalam Arab. Ketika para pengkaji dan pengguna kalam arab hanya dengan mengandalkan ilmu nahwu tanpa disertai penguasaan dalam bidang ushulnya, akan berdampak kegamangan dan keraguan pada hati dan fikiran, serta sulit untuk meniscayakan kebenaran dan kesalahan terhadap sebuah kaidah atau pendapat. Sebagaimana sindiran al-Anbari, bahwa para pengkaji gramatika arab yang hanya menukil ilmu teoritis secara instant tanpa mengetahui alasan secara rasional hanya akan diliputi kebingungan yang tidak akan berkesudahan.