Melacak jejak Nasionalisme Indonesia
Hanif Hidayatullah
Nasionalisme muncul dan berkembang di Barat sejak abad ke-15. Namun tidak lama kemudian paham tersebut dianut oleh Negara Timur, salah satunya adalah Indonesia setelah abad ke-19. Di Indonesia paham nasionalisme merupakan paham yang melahirkan sejarah besar sebagai alat pemersatu untuk melawan penjajahan. Meski era kemerdekaan dari penjajahan dan kolonialisme telah lewat, namun nasionalisme tetap tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian mengental dalam kehidupan kenegaraaan yang berwujud Negara-bangsa Indonesia. Namun sebelum nasionalisme masuk dan mempengaruhi masyarakat Nusantara, telah ada nilai-nilai universal yang berlaku dan menjadi unsur pemersatu. Nilai itu adalah agama. Sehingga mau tidak mau nasionalisme akan bersentuhan dengan nilai-nilai agama yang telah lebih lama berada di masyarakat Nusantara.
Menatap fenomena yang sedemikian rupa, jadi tidaklah mengherankan jika hal ini menimbulkan permasalahan yang kian rumit dalam perkembangan Indonesia ke depan terkait dengan sosial-politik dan ideologi Negara, sehingga munculah gagasan bahwa yang bisa menyatukan dan memajukan kita sebagai masyarakat Indonesia adalah Islam atau Negara Islam.
Ahmad Baso, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di harian Kompas pernah mengatakan, bahwa pesatnya perkembangan paham Islam trans-nasional di Indonesia tidak terlepas dari peranan mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Timur tengah. Saat kembali ke Indonesia mereka justeru mempromosikan cara beragama dan berbangsa "ala Timur tengah" yang tidak sesuai dengan konteks keindonesiaan. Maraknya perkembangan Islam trans-nasional membuat Indonesia menjadi ajang bagi penegakan syariat Islam dan penerapan khilâfah Islâmiyah. Kuatnya desakan faham trans-nasional membuat banyak mahasiswa Indonesia kehilangan nilai lokalitasnya yang berbasis pada kultur dan kondisi kebangsaan Indonesia. Semangat nasionalisme mereka pun kemudian menurun, bahkan pada batas-batas tertentu pudar. Kondisi ini berbeda dengan para lulusan perguruan tinggi Timur tengah sebelum masa kemerdekaan. Meski pun memperoleh pendidikan keagamaan yang kuat ala Timur tengah, saat kembali ke Indonesia mereka justeru dapat menguatkan nilai-nilai lokal yang ada. Mereka juga mampu melahirkan cara beragama dan berpolitik yang khas "ala Indonesia", bahkan mempromosikan ke mancanegara. Kalau alumni Timur tengah sekarang dan yang akan datang hanya menjadi agen dari paham keagamaan trans-nasiaonal, apa gunanya bagi bangsa?, tegas Baso.
Menilai apa yang ditulis oleh Ahmad Baso, terlihat bahwa dia merupakan sosok yang merasakan kekhawatiran dari out put mahasiswa Indonesia yang belajar di Timur tengah. Namun, saya kira beliau tidak melakukan generalisasi, karena tidak semua out put akademia Timur tengah seperti yang dituduhkannya, bahwa mereka yang belajar di Timur tengah akan selalu memiliki kecendrungan seperti itu, artinya punya komitmen untuk mengembalikan Indonesia dari masa pesawat udara ke masa Onta lagi.
Saya tidak mengatakan naif, tapi sangat sulit berharap pada pikiran seperti itu, bahwa melakukan dekonstruksi terhadap ideologi nasional lalu direkonstruksi menjadi khilâfah Islâmiyah adalah sebuah solusi untuk mempersatuakn bangsa. Orang Islam yang masih eksklusiv seharusnya juga sadar bahwa mereka hidup di Indonesia, walau pun secara doktrinal, Islam itu bersifat universal dan literal sekaligus pada awal munculnya, tapi interpretasi atas gagasan-gagasan keislaman sebahagian besar juga tidak terlepas dari kondisi di mana sang interpreter berada. Karena kebetulan kita hidup di Indonesia, maka karakter dan hal-hal yang mewarnai keindonesiaan juga tidak bisa dilepaskan dalam menafsirkan Islam. Artinya Islam tidak berkembang di alam yang vakum atau di ruang hampa, tapi akan selalu terbentuk bersamaan dengan nilai-nilai kontekstual atau realitas objektif yang melatari kehadiran Islam.
Melihat konteks Islam di Nusantara, saya kira hubungan antara Islam dengan nasionalisme tidaklah bersifat diameterial atau terpisah, akan tetapi sudah memiliki sifat yang immaterial atau peduli. Menjadi seorang Muslim yang baik, tidak berarti menjadi seorang yang anti nasionalisme. Fakta itulah yang ditunjukkan oleh para perintis perjuangan kemerdekaan Indonesia tempo dulu seperi Bung Karno, Muhammad Hatta, Syahrir, Cokro Aminoto, Wahid Hasyim ,Bagus Hadikusumo, dan lain-lain.
Dalam kenyataan, ada saja sekelompok Muslim yang konsisten meletakkan agama di atas bangsa dan setia mengampanyekan gagasan khilâfah universal lintas Negara. Bagi mereka, nasionalisme tidak penting, bahkan pada titik yang paling ekstrim dipandang tercela. Komitmen mereka itu didukung oleh keniscayaan adanya relasi antara tebal dan tipisnya iman atau juga ada kaitannya dengan halal dan haram. Di samping juga dibungkus dengan kepentingan politik kekuasaan.
Jadi bisa disimpulkan bahwa menurut mereka Islam harus dipaksakan kepada umat, bukan sebuah kesadaran. Nilai-nilai Islam harus diterapkan dengan kekuasaan. Tanpa itu seoalah-olah Islam tidak akan tegak dan tak memiliki arti apa-apa. Saya lebih setuju dengan kata-kata filosofis yang pernah diungkapkan oleh Ali Harb, pemikir Lebanon; "saya lebih khusu‘ dan khidmat shalât di Perancis dari pada shalât di Timur tengah". Artinya kondisi yang lebih mendukung untuk melakukan ritual, itu lebih rendah kwalitas keimanannya dibanding seseorang yang melakukan ritual di daerah yang iklimnya tidak beraroma Islami, dan itulah yang lebih baik bagi jiwa-jiwa yang memiliki kesadaran dan keyakinan yang besar terhadap Islam.
Ahmad Baso, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di harian Kompas pernah mengatakan, bahwa pesatnya perkembangan paham Islam trans-nasional di Indonesia tidak terlepas dari peranan mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Timur tengah. Saat kembali ke Indonesia mereka justeru mempromosikan cara beragama dan berbangsa "ala Timur tengah" yang tidak sesuai dengan konteks keindonesiaan. Maraknya perkembangan Islam trans-nasional membuat Indonesia menjadi ajang bagi penegakan syariat Islam dan penerapan khilâfah Islâmiyah. Kuatnya desakan faham trans-nasional membuat banyak mahasiswa Indonesia kehilangan nilai lokalitasnya yang berbasis pada kultur dan kondisi kebangsaan Indonesia. Semangat nasionalisme mereka pun kemudian menurun, bahkan pada batas-batas tertentu pudar. Kondisi ini berbeda dengan para lulusan perguruan tinggi Timur tengah sebelum masa kemerdekaan. Meski pun memperoleh pendidikan keagamaan yang kuat ala Timur tengah, saat kembali ke Indonesia mereka justeru dapat menguatkan nilai-nilai lokal yang ada. Mereka juga mampu melahirkan cara beragama dan berpolitik yang khas "ala Indonesia", bahkan mempromosikan ke mancanegara. Kalau alumni Timur tengah sekarang dan yang akan datang hanya menjadi agen dari paham keagamaan trans-nasiaonal, apa gunanya bagi bangsa?, tegas Baso.
Menilai apa yang ditulis oleh Ahmad Baso, terlihat bahwa dia merupakan sosok yang merasakan kekhawatiran dari out put mahasiswa Indonesia yang belajar di Timur tengah. Namun, saya kira beliau tidak melakukan generalisasi, karena tidak semua out put akademia Timur tengah seperti yang dituduhkannya, bahwa mereka yang belajar di Timur tengah akan selalu memiliki kecendrungan seperti itu, artinya punya komitmen untuk mengembalikan Indonesia dari masa pesawat udara ke masa Onta lagi.
Saya tidak mengatakan naif, tapi sangat sulit berharap pada pikiran seperti itu, bahwa melakukan dekonstruksi terhadap ideologi nasional lalu direkonstruksi menjadi khilâfah Islâmiyah adalah sebuah solusi untuk mempersatuakn bangsa. Orang Islam yang masih eksklusiv seharusnya juga sadar bahwa mereka hidup di Indonesia, walau pun secara doktrinal, Islam itu bersifat universal dan literal sekaligus pada awal munculnya, tapi interpretasi atas gagasan-gagasan keislaman sebahagian besar juga tidak terlepas dari kondisi di mana sang interpreter berada. Karena kebetulan kita hidup di Indonesia, maka karakter dan hal-hal yang mewarnai keindonesiaan juga tidak bisa dilepaskan dalam menafsirkan Islam. Artinya Islam tidak berkembang di alam yang vakum atau di ruang hampa, tapi akan selalu terbentuk bersamaan dengan nilai-nilai kontekstual atau realitas objektif yang melatari kehadiran Islam.
Melihat konteks Islam di Nusantara, saya kira hubungan antara Islam dengan nasionalisme tidaklah bersifat diameterial atau terpisah, akan tetapi sudah memiliki sifat yang immaterial atau peduli. Menjadi seorang Muslim yang baik, tidak berarti menjadi seorang yang anti nasionalisme. Fakta itulah yang ditunjukkan oleh para perintis perjuangan kemerdekaan Indonesia tempo dulu seperi Bung Karno, Muhammad Hatta, Syahrir, Cokro Aminoto, Wahid Hasyim ,Bagus Hadikusumo, dan lain-lain.
Dalam kenyataan, ada saja sekelompok Muslim yang konsisten meletakkan agama di atas bangsa dan setia mengampanyekan gagasan khilâfah universal lintas Negara. Bagi mereka, nasionalisme tidak penting, bahkan pada titik yang paling ekstrim dipandang tercela. Komitmen mereka itu didukung oleh keniscayaan adanya relasi antara tebal dan tipisnya iman atau juga ada kaitannya dengan halal dan haram. Di samping juga dibungkus dengan kepentingan politik kekuasaan.
Jadi bisa disimpulkan bahwa menurut mereka Islam harus dipaksakan kepada umat, bukan sebuah kesadaran. Nilai-nilai Islam harus diterapkan dengan kekuasaan. Tanpa itu seoalah-olah Islam tidak akan tegak dan tak memiliki arti apa-apa. Saya lebih setuju dengan kata-kata filosofis yang pernah diungkapkan oleh Ali Harb, pemikir Lebanon; "saya lebih khusu‘ dan khidmat shalât di Perancis dari pada shalât di Timur tengah". Artinya kondisi yang lebih mendukung untuk melakukan ritual, itu lebih rendah kwalitas keimanannya dibanding seseorang yang melakukan ritual di daerah yang iklimnya tidak beraroma Islami, dan itulah yang lebih baik bagi jiwa-jiwa yang memiliki kesadaran dan keyakinan yang besar terhadap Islam.
0 komentar:
:f :D :) ;;) :x :$ x( :?
:@ :~ :| :)) :( :s :(( :o Posting Komentar