Menggugat Legalitas Kebenaran Mutlak


Hanif Hidayatullah

"Cintailah kebenaran sebagaimana kita mencintai diri sendiri. Hormatilah kebenaran orang lain, sebagaimana kita butuh kepada orang lain. Ingatlah, bahwa mendaku kebenaran hanya miliknya adalah kesombongan. Dan yang berhak sombong adalah Yang Maha Benar".

Menilik fenomena negeri kita yang mayoritas adalah umat Islam, kadang timbul sebuah pandangan yang tidak memuaskan dalam benak dan naluri. Betapa tidak, Islam yang dipahami sebagai agama yang dibawa rasulullah dengan tujuan untuk menyempurnakan akhlak, Islam yang mencintai perdamain, toleransi dan menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan nilai-nilai hak asasi manusia hanyalah sekedar teori fikih dan teologi versi sebuah maenstrem yang dipahami oleh sekian banyak umat Islam di Indonesia. Ideologi yang selama ini membumi di tanah air dan bahkan dianggap sudah menjadi doktrin yang pakem terasa menjadi puncak timbulnya klaim kebenaran mutlak yang seakan harus direalitaskan di bumi Nusantara. Seakan Islam di Nusantara hanya milik sebuah golongan, lembaga, madzhab atau bahkan otoritas tertentu.
Jadi tidak heranlah, ketika ada sebuah pemahaman tentang Islam yang berbeda dan bersebrangan dari ideologi fikih dan teologi yang sudah mengakar dan mentradisi, ramai-ramai dimentahkan bahkan klaim saling sesat menyesatkan menjadi sebuah trend umat Islam masa kini. Hal ini tidak lain adalah demi membela pemahaman tentang Islam yang didaku oleh mereka sebagai pemahaman yang paling benar, mapan dan absolut, dengan alasan membela kemurnian dan ajaran Islam yang dibawa rasulullah menurut pemahaman yang diyakini. Memutlakkan sebuah kebenaran yang diyakini dalam realitas sosial tidaklah merupakan sebuah kesalahan, jika hal tersebut masih dalam koridor menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, dan hak asasi manusia serta tidak menyinggung kebebasan berekspresi yang merupakan bagian dari moralitas yang menjadi misi rasulullah ketika diutus ke muka bumi ini.

Islam sebagai agama yang mengedepankan kwalitas moral, sering dipahami oleh sebahagian khalayak ramai bahkan oleh para pemuka agama di Nusantara sebagai fikihisme dan teologisme, sehingga jika kedua doktrin tersebut terasa tercemar oleh upaya-upaya kreatif pihak lain, maka tidak jarang muncul tindakan yang mendiskreditkan moralitas yang menjadi inti dari ajaran Islam dan bahkan yang lahir adalah kecongkakan dan egoisme, sehingga berimplikasi kepada terjadinya kesenjangan sosial bahkan sering berakibat tindakan anarkisme yang membahayakan harta dan jiwa umat manusia. Senada dengan hal tersebut, kita baru-baru ini selalu merasa risih bahkan pada seluruh panca indra dengan isu-isu sentral dan respon-respon umat Islam yang pro aktif baik dari kalangan bawahan sampai kalangan agamawan yang kian memuncak, tentang munculnya kelompok-kelompok sempalan Islam di Nusantara. Seakan mereka merasa kurang optimis akan keyakinan kebenaran fikih dan teologi yang menjadi ajaran pakem umat Islam, seakan menjadi kekhawatiran akan pudarnya Islam akibat munculnya aliran-aliran tersebut. Karena kekhawatiran itulah lalu mereka selalu merasa resah dan gelisah dengan kondisi agama Islam yang selama ini di pahami rakyat Nusantara.

Sebagaimana yang saya jelaskan diatas, bahwa memutlakkan kebenaran yang kita yakini adalah merupakan komitmen yang sejatinya harus ada pada jiwa seorang muslim, karena tanpa adanya satu keyakinan yang diyakini kebenarnnya, maka prilaku, ritual dan lain-lain hanya akan dipenuhi dengan keraguan dan jelas akan berimplikasi pada kurang sempurnya tujuan yang direalisasikan. Sebagai mana firman Allah dalam hadis qudsi: ana ‘inda zhanni ‘abdi bi fala yadzunnu illa khaira.Namun jika kebenaran muthlak tersebut dilegalisasikan oleh otoritas yang memiliki kekuatan hukum dan fatwanya akan selalu diikuti seluruh umat, maka klaim atau melegalkan kebeneran mutlak harus mempertimbangkan berbagai macam sisi, baik itu yang terkait dengan hubungan manusia pada Tuhannya atau yang berhubungan erat dengan keharmonisan interaksi antar sesama manusia.

Nah jika klaim kebenaran tersebut tidak berakibat memperkeruh keharmonisan umat untuk melakukan hubungan dengan Tuhannya dan tidak mengusik hak dan kebebasan berkreasi dan berinteraksi antar sesama umat manusia, maka itu adalah sebuah klaim kebenaran yang akan diterima oleh setiap naluri manusia dan sesuai dengan misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamian. Tapi ketika klaim kebenaran mutlak hanya akan berdampak memperkeruh kejernihan arus interaksi sosial antar sesama umat dan bahkan berakibat pada pudarnya rasa persaudaraan antar sesama muslim. Maka hal ini bukan merupakan kebenaran demi kebenaran yang mashlahah, akan tetapi hanyalah kebenaran yang akan menyesatkan dan memporak-porandakan umat. Seiring dengan hal tersebut, ketika kita menjelajah fenomena realitas sosial umat muslim di Nusantara, yang akhir-akhir ini diributkan dengan munculnya sempalan-sempalan atas nama islam, bermunculan pula di Cakrawala klaim kebenaran mutlak, baik itu melalui lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, agama bahkan lembaga otonom yang memilki otoritas penting dalam sebuah pemerintahan. Seolah-olah Islam hanyalah milik FPI, HTI, PKS dan organesasi-organesasi konservatif yang lain, seolah-olah Islam hanyalah punya Muhammadiyah dan NU saja. Mereka enggan mengakui bahwa Islam di Indonesia juga dimiliki oleh ISLIB, ISLAT, P3M, JTI, LDII, Al-Qiyadah al-Islamiyah, Qur'an Suci, Ahmadiyah dan juga sekte-sekte Islam baru yang lain. Semua punya hak milik dan otoritas terhadap Islam.

Sudah selayaknya masing-masing umat Islam mengakui dan komitmen bahwa kebenaran Islam adalah Islam yang diyakini dan yang dianutnya. Sudah sewajarnya masing-masing mendeklerasikan bahwa Islamnyalah yang paling benar dihadapan Tuhannya. Namun tentu klaim kebenaran itu hanyalah sebatas untuk menumbuhkan rasa optimis dalam menjalankan Islam yang diyakininya, serta tidak sampai mengusik ketentraman dan kebebasan umat Islam lain dalam menjalankan ritual yang diyakininya. Namun sangat disesalkan, ketika bangsa yang masih bergelimang dengan penderitaan disana-sini akibat berbagai krisis yang multidemensional, baik dari segi ekonomi, politik, sosial bahkan krisis moralitas umat Islam yang sedemikian rupa, MUI sebagai lembaga pemerintahan yang memiliki kekuatan hukum, tak tinggal diam untuk menambah kegelisahan dan keresahan yang dialami warganya. Bukan malah mencarikan solusi terhadap pertentangan umat, bukan mengajak umatnya untuk menjujung tinggi nilai-nilai demokrasi dan toleransi antar sesama, tapi justru mengajak umat untuk menyalakan api peresengketaan dalam tubuh umat Islam sendiri.

Tak ayal, kemudian MUI lewat fatwanya melakukan intervensi terhadap ISLIB dan aliran-aliran baru dengan menyatakan sesat dan menyesatkan. Dan yang lebih fatal lagi adalah mengajak warga untuk bersikap tegas atas eksistensi dan konsistensi ISLIB dan munculnya aliran-aliran baru tersebut. Aliran-aliran yang diklaim sesat oleh MUI itu antara lain: Al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mushaddeq, Salamullah (Komunitas Eden) pimpinan Lia Aminudin, Jemaah Ngaji Lelaku pimpinan Yusman roy, Islam Jamaah pimpinan Nur Hasan Ubaidah, Al-Quran Suci, dan Ahmadiyah pimpinan Mirza Ghulam Ahmad. MUI dalam hal ini terlihat berperan langsung dalam membentuk sikap-sikap intoleran dan kebencian. Sehingga menurut penulis, asas Pancasila saat ini lebih banyak dimaknai sebagai penyatuan agama dan Negara daripada menjunjung tinggi nasionalisme, nilai demokrasi dan toleransi antar sesasama warga Negara. Akibatnya, negara memiliki stempel benar dan tidaknya sebuah ideologi adalah berdasarkan agama/kepercayaan, bukan berdasarkan UUD 45 dan Pancasila. Padahal Negara kita adalah berideologikan Pancasila dan berpedoman pada UUD 45, bukan berdasarkan agama Islam, karena Negara kita bukan Negara Islam. Maka saya menyimpulkan sikap pemeritahan Indonesia saat ini, bahwa jika dianggap sesat oleh ideologi agama, maka pemerintah lewat MUI pun bersikap represif (menindas) bahkan melakukan penangkapan terhadap kelompok-kelompok diluar maenstrem, ibarat sedang memburu PKI di zaman pemerintahan Orde Baru.

Merespon keputusan MUI yang sedemikian rupa, banyak lembaga-lembaga Islam, terutama lembaga yang nota benenya memperjuangkan dan menjunjung tinggi kebebasan berkreasi dan hak asasi manusia seperti: The Wahid Institute,The Indonesian Legal Resource Center (ILRC),Yayasan Tifa, The Human Rights Working Group (HRWG), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Desantara Madia, Jaringan Islam Liberal (JIL), dan MADIA, yang menghimbau dan mendesak untuk menghentikan klaim sesat dan menyesatkan kepada kelompok atau aliran yang muncul. Sebab dari banyak kasus fatwa penyesatan justru menjadi pendorong dan pembenar tindak kekerasan oleh kelompok masyarakat tertentu. Bahkan komnas HAM sendiri menyimpulkan, bahwa berbagai kasus yang ada, salah satunya adalah penyerangan dan perusakan gedung-gedung Ahmadiyah adalah berpangkal pada fatwa MUI. Sebetulnya, temuan Komnas HAM itu tidak terlalu mengejutkan. Bahwa ada korelasi antara sikap keberagamaan tertentu dengan kekerasan yang telah lama menjadi kesimpulan banyak study, tapi yang mengejutkan adalah bahwa hal ini dinyatakan dalam sebuah dokumen resmi dan diumumkan kepada publik. Selama ini, hampir tidak ada orang yang berani mengatakan bahwa fatwa MUI secara langsung bertanggungjawab terhadap kekerasan atas Ahmadiyah.

Fatwa adalah pandangan keagamaan yang dikeluarkan oleh ulama. Banyak orang mengatakan bahwa “fatwa tidak mengikat,” maksudnya adalah bahwa fatwa tidak memiliki konsekwensi legal. Benar bahwa fatwa tidak memiliki konsekwensi legal bagi kaum muslim, tapi mengatakan bahwa fatwa tidak memiliki dampak sosial di dalam masyarakat yang nota bene Islam adalah sebuah kekeliruan. Bagaimanapun, fatwa bukanlah pernyataan awam, tapi pernyataan sebuah otoritas agama. Dengan dukungan dari masyarakat Islam yang semakin konservatif, MUI memiliki sedikit kekuatan dan kepercayaan diri dalam menelorkan fatwa-fatwanya, disamping juga sebagai lembaga independen pemerintah, apalagi ketika beberapa tokoh ultra-konservatif, yang kurang memahami arti bernegara, mulai masuk ke dalam lembaga ini. Inilah yang menurut penulis faktor penyebab beberapa fatwa yang berpotensi memicu kekerasan dan tindakan intoleransi antar sesama umat Islam adalah berasal dari keompok ultra-konservatif yang menelusup dalam tubuh MUI tersebut . Dalam beberapa tahun belakangan, setidaknya ada dua fatwa yang telah mendorong kekerasan atas nama Islam: pertama, fatwa tentang beberapa aliran yang muncul seperti disebutkan di atas, dan kedua fatwa tentang liberalisme, Sekularisme, dan Pluralisme. Fatwa ini berpotensi besar memicu sekelompok kaum muslim untuk bertindak intoleran kepada lembaga-lembaga yang mempromosikan konsep-konsep yang diharamkan MUI itu. Kita tahu, dalam Islam ada anjuran untuk selalu berburu kebenaran. Dalam sebuah hadis, bahkan Nabi menyebut bahwa kebenaran/kebijaksanaan adalah merupakan barang tercecer yang perlu dipungut oleh setiap Muslim.

Dalam konsep Islam, pemilik kebenaran mutlak hanyalah Tuhan semata bukan milik Islam konservatif dan MUI. Karena itu, dalam bahasa Arab,Tuhan sering juga disebut al-Haqq: Yang Maha benar, kalau bukan kebenaran itu sendiri. Sementara manusia, paling banter hanya sampai pada percikan-percikan kebenaran. Namun, itu bukan berarti manusia tak akan pernah sampai pada kebenaran sama sekali. Mungkin sekali manusia sampai pada kebenaran, tapi kebenaran yang dicapai manusia adalah kebenaran yang nisbi, bukan kebenaran yang mutlak. Hemat saya, kebenaran yang nisbi itulah yang lebih baik dikonsumsi umat Islam dewasa ini, jika prinsip kebenaran mutlak tersebut mudah menjerat umat untuk sulit beradaptasi dengan perbedaan pemahaman Islam yang ada, karena dengan prinsip kebenaran yang tidak muthlak atau nisbi itulah, hidup manusia akan senantiasa harmonis dan beradab, karena kebenaran tersebut selalu dapat didiskusikan, diinterupsi, dievaluasi, dan dikoreksi sesuai dengan keperluan yang dibutuhkan umat. Tapi dalam kenyataannya, manusia selalu punya kepentingan untuk mendaku kebenaran mutlak Tuhan dengan pelbagai motifnya.

Ingatlah, bahwa filosof-filosof dan pemikir besar sekalipun hanya menyebut diri mereka sebagai muhibbul hikmah alias pencinta kebenaran, bukan pemilik kebenaran sebagaimana yang dimiliki oleh yang maha benar. Sumber: Jelajah dari berbagai media.

0 komentar: