Spirit Merealitaskan al-Qur'an


Hanif Hidayatullah

Al-Qur’an adalah wahyu tuhan yang berisi nilai-nilai universal kemanusiaan. Ia diturunkan untuk dijadikan petunjuk, bukan hanya untuk sekelompok manusia, melainkan untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Nilai-nilai dasar al-Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan manusia secara utuh dan komprehensif (Q.S. al-An’âm/6:37). Tema-tema pokoknya mencakup aspek ketuhanan, manusia sebagai individu dan anggota masyarakat, alam semesta, kenabian, wahyu, eskatologi (ajaran teologi mengenai akhir zaman seperti kiamat, hari kebangkitan, neraka, surga dan lain-lain), dan makhluk-makhluk spiritual seperti malaikat. Eksistensi, orisinalitas, dan kebenaran ajarannya dapat dibuktikan oleh sains modern (QS. al-Hujurât/15:9), sedang tuntunan-tuntunannya adalah rahmat bagi semesta alam (Q.S. al-Furqân/25:1).
Namun demikian, al-Qur’an tidak boleh ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus dimitoskan, karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara al-Qur’an dengan realitas sosial, perkembangan semacam ini kadang-kadang tidak diantisipasi oleh umat Islam, sehingga menimbulkan sikap-sikap reaksioner yang berlebihan.

Di lain sisi bisa menimbulkan sikap intoleransi gagasan-gagasan ilmiah wacana keagamaan dan berujung pada tindakan pengisolasian karya-karya progresif para pemikir islam. Misalnya saja pada kasus Dr. Nasr Hamid Abu Zaid, ilmuwan yang melakukan “interogasi ilmiah” atas al-Qu'ran. Ia dituduh “kafir” karena kegiatan ilmiahnya itu. Al-Qur'an sebagai wahyu adalah bagian dari keyakinan umat Islam yang sejatinya tidak bisa diinterogasi secara “ilmiah”. Seorang muslim beriman bahwa al-Qur'an, dengan satu cara: karena diwahyukan oleh Allah.

Pada sesi ini, tampaknya kita relevan memakai perspektif “fideistis” yang dikemukakan oleh Soren Kierkegaard, filsuf Denmark, yang mengatakan bahwa iman adalah suatu “lompatan”. Kita berani “melompat” tanpa didukung oleh bukti-bukti “ilmiah” dan lalu menyimpulkan bahwa benar adanya kitab kami diwahyukan oleh Allah. Sesi berikutnya adalah al-qur'an sebagai data sejarah, yakni sebagai teks yang secara historis berada di tegah-tengah umat Islam. Ia menjadi sumber, fondasi, dan ilham bagi norma dan aturan-aturan yang mengatur kehidupan umat Islam. Pada sesi inilah, al-Qur'an bisa diinterogasi secara ilmiah, dianalisa, diinterpretasikan, dan seterusnya. Kedua sesi itu selayaknya tidak dicampuradukkan. Interogasi “ilmiah” atas al-Qur'an sudah selayaknya ditempatkan pada wilayah kajian ilmiah, dan tidak selayaknya dipandang sebagai “pelecehan” pada iman. Pengkajian ilmiah atas al-Qur'an juga tidak selayaknya dianggap sebagai usaha untuk memudarkan iman. Seorang muslim bisa tetap bertahan sebagai seorang beriman yang baik, tetapi pada saat yang sama melakukan interogasi dan pengkajian ilmiah atas al-Qur'an.

Al-Qur’an di satu pihak diidealisasikan sebagai sistem nilai sakral dan transendental; sementara di pihak lain realitas sosial yang harus dibimbingnya begitu pragmatis (bersifat praktis dan berguna bagi umum), rasional, dan materialistis. Seolah-olah nilai-nilai al-Qur’an yang diadreskan untuk manusia berhadap-hadapan dengan realitas itu, betapa tidak al-Qur'an sebagai salah satu sumber yang tidak pernah tersentuh oleh kajian ilmiah sampai menemukan bukti ketidakorisinilannya dan tidak pernah berhenti dikaji baik oleh para pakar orentalis atau pakar muslim timur adalah meniscayakan bukan merupakan karya manusia tapi merupakan wahyu tuhan yang selalu dibutuhkan manusia ketika berdialektika dengan realitas sosial, namun acapkali al-Qur'an yang merupakan tuntunan tersebut menimbulkan kontradiksi fenomena sosial dalam belantika pemikiran islam, yang jelas bukan wahyu tuhan yang harus dipermasalahkan tapi penerapan nilai-nilai teks al-Qur'anlah yang perlu dianalisa dan harus dicermati kembali. Membumikan (merealitaskan) al-Qur’an meminjam istilah Dr. Quraisy sihab merupakan sebuah keniscayaan. Sebagai kitab suci terakhir, al-Qur’an menerobos perkembangan zaman, melintasi batas-batas geografis, dan menembus lapisan-lapisan budaya yang pluralistik. Karena memang kandungannya selalu sejalan dengan kemaslahatan manusia. Dimana terdapat kemaslahatan disitu ditemukan tuntunan al-Qur’an dan dimana terdapat tuntunan al-Qur’an di situ terdapat kemaslahatan. Merealitaskan al-Qur’an sesungguhnya tidak lain adalah melakukan upaya-upaya terarah dan sistematis di dalam masyarakat agar nilai-nilai al-Qur’an hidup dan dipertahankan sebagai faktor kebutuhan didalamnya bukan sekedar disakralkan dengan dibaca sebagai perwujudan nilai ibadah, bahkan bagaimana menjadikan nilai-nilai al-Qur’an sebagai bagian inheren (berhubungan erat) dari perbendaharaan nilai-nilai lokal dan universal didalamnya sehingga merealitaskan al-qur'an bisa terealisasi sesuai dengan nilai-nilai humanisme dalam realitas sosial kemasyarakatan.

Proses merealitaskan al-Qur’an dalam lintasan sejarah menarik untuk dicermati. Kitab suci ini secara utuh bersumber dari Tuhan, tetapi tidak diturunkan sekaligus. Kondisi obyektif al-Qur’an diturunkan selama kurun waktu 23 tahun dengan dua fase yang relatif berimbang, yaitu fase makkiyyah dan fase madaniyyah. Ini semua menjadi isyarat bahwa merealitaskan al-Qur’an di dalam masyarakat membutuhkan waktu dan proses panjang. Asas dalam merealitaskan al-Qur’an menurut Dr.Quraisy sihab sekurang-kurangnya mempunyai tiga prinsip, yaitu: 1) meniadakan kesulitan (‘adam al-haraj), 2) pembatasan beban (taqlîl at-taklîf), dan 3) penetapan hukum secara berangsur-angsur (al-tadrîj fi at-tasyrî’). Keberangsuran ini membuktikan adanya proses Dialogis (bersifat terbuka dan komunikatif) dan dialektis (berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah) antara al-Qur’an dan realitas sosial, ini bisa diandaikan bahwa al-Qur'an adalah sebuah teks yang harus terus dianalisa, diinterpretasikan bahkan diintrogasi secara ilmiah tanpa dipandang sebagai pelecehan keimanan meskipun secara fundamentalis menyerobot nilai-nilai keimanan yang sudah menjadi pakem resmi yang disepakati, sebab dalam melakukan analisis ilmiah terhadap suatu wacana baik al-Qur'an maupun hadist dengan melepaskan nilai-nilai keimanan adalah sebuah sikap yang niscaya adanya. Dan adalah hal yang wajar jika para interpreter masih terkungkung dengan rasa kekhwatiran akan terjadinya "pelanggaran" terhadap nilai-nilai keimanan yang diyakinya, maka secara otomatis produktivitasnya akan mengalami kegersangan prinsip dalam menginterpretasikan wacana teks.

Kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh melalui pengkajian ilmiah bersifat relatif, karena merupakan hasil dari kerja akal manusia yang terbatas. Ia mengandaikan sejumlah asumsi, disamping dilatarbelakangi oleh kondisi sosio-kultural yang melitarinya dan dengan demikian bersifat kondisional dan provisional. Kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari sanapun bisa dikoreksi oleh penelitian berikutnya. Sementara iman bersifat sebaliknya. Ia bersifat mutlak dan tidak bisa diganggu-gugat karena iman adalah kepatuhan tanpa syarat.
Proses ini juga memberikan legitimasi (pernyataan yang sah) psikologis dan sosiologis untuk penerapan strategi bertahap dalam proses merealitaskan al-Qur’an. Dengan demikian, proses tersebut harus dipandang sebagai proses bekelanjutan, pergumulan yang tanpa henti, seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan umat manusia. Sebagaimana halnya nilai-nilai lain, proses akulturasi (pencampuran kebudayaan) dan enkulturasi (pembudayaan) nilai-nilai dasar al-Qur’an dalam lintasan sejarah tidak saja memberi warna baru kepada sasaran-sasarannya, karena ia membuka diri pada setiap budaya posistif sepanjang masa. Ini antara lain disebabkan karena sebagian besar ayatnya dapat mengandung aneka interpretasi dan karena kitab suci ini menghidangkan simbol (amtsal) yang sarat makna, lagi terbuka bagi nalar para cendekiawan. Di sinilah kekhususan al-Qur’an; ia memberikan kesempatan kepada setiap budaya untuk menafsirkan dan mengaktualkan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya sehingga fungsinya sebagai pedoman yang ideal dan utuh sepanjang zaman benar-benar suatu keniscayaan. Dalam kenyataannya, meskipun hanya satu al-Qur’an, tetapi terjadi spektrum keanekaragaman pemahaman dan penerapan ajaran di dunia Islam. Proses merealitaskan al-Qur’an tidak bisa menghindari fenomena kontak budaya , yaitu antara tuntutan untuk mewujudkan tata nilai yang haq dan kepentingan untuk memelihara keharmonisan di dalam masyarakat. Tentu saja dalam hal ini keharmonisan tidak boleh dikorbankan untuk menegakkan tata nilai yang haq, dan iapun tidak boleh dipertahankan bila dibangun atas landasan yang bathil.

Fenomena lain yang menarik untuk dicermati ialah adanya kecenderungan dikalangan intelektual muda Islam yang lebih familiar (akrab) merujuk kepada karya-karya filsafat dan ilmu-ilmu sosial ketimbang kembali kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadis dalam menyikapi problem sosial yang sedemikian rumit di dalam masyarakat. Mereka seolah-olah kehilangan daya tarik dan gairah untuk menghubungkan problem sosial kepada ayat-ayat al-Qur’an. Fenomena ini tentu tidak berdiri sendiri, tetapi terkait satu sama lain. Mungkin ini disebabkan adanya “monopoli” kalangan ulama dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an, sementara ilmuan lain di luar kategori ulama jarang diajak terlibat dalam proses merealitaskan al-Qur’an padahal akan meniscayakan sekali jika para ulama ahli tafsir dalam meriterpretasikan teks melibatkan pakar-pakar ilmuan yang memiliki kontribusi besar dalam menyelami dan spesialisasi dalam bidang ilmu tertentu seperti filsafat, teologi, fiqh, sosiologi bahkan pakar teknologi, sejarawan dan para pemikir lainnya.

Di samping itu, ‘Ulumul Qur’an termasuk disiplin ilmu keislaman yang sedikit sekali disentuh pembaharuan. Karya-karya klasik seperti al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân karya Az-Zarkasyi (w. 794 H) dan al-Itqân fi‘Ulûm al-Qur’ân karya As-Suyûthi (w. 911 H) masih tetap dominan dan eksis dalam kajian ‘Ulumul Qur’an yang datang berikutnya. Sementara, disiplin ilmu-ilmu sosial dan para ilmuannya mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dengan demikian, sesungguhnya letak persoalannya bukan pada al-Qur’an itu sendiri, tetapi media dan sarana, termasuk metodologi, dalam mana ia memperkenalkan dan mewujudkan dirinya dalam kemasan yang sudah mulai termakan usia, sehingga mungkin terasa kalah bersaing dengan disiplin ilmu-ilmu lain. Salah satu upaya merealitaskan al-Qur’an dalam konteks masyarakat modern ialah mengintrodusir metode-metode ilmu sosial dalam memahami dan mengartikulasikan nilai-nilainya di dalam masyarakat. Namun, ini bukan persoalan sederhana, karena masih terbentang jarak yang sangat panjang antara ontologi (cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup) ilmu-ilmu agama, termasuk ilmu-ilmu al-Qur’an, dan ontologi ilmu-ilmu sosial. Penafsiran al-Qur’an sebagai bagian dari ilmu agama bertolak dari perspektif transendental (menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian atau abstrak), yang melampaui dunia nyata, berangkat dari keyakinan dan hakikat kemanusiaan, sedangkan ilmu-ilmu sosial beranggapan segala sesuatu harus dapat diterangkan secara rasional dan berangkat dari sikap skeptis (keragu-raguan) sebagai perantara untuk menggapai keniscayaan maka merupakan konklusi yang tidak diragukan lagi bahwa keterlibatan antara kedua ilmu tersebut adalah suatu keharusan.

Spirit merealitaskan al-Qur'an yang tidak bisa ditolak lagi adalah perlunya mengangkat aspek kemanusiaan dalam syari’at Islam berdasarkan nilai-nilai universal al-Qur'an. Dalam banyak ayat al-Quran cenderung tidak terdapat "pembelaan kepada Tuhan", karena dia terlalu mulia, Mahakaya, Mahatahu dan Mahakuasa sehingga tidak membutuhkan pembelaan dari makhluqnya. Karenanya Tuhan "tidak perlu dibela" dan "di tolong". Yang semestinya mendapat perhatian adalah manusia, dalam rangka membangun kedamaian, keadaban dan keseimbangan. Segala bentuk penindasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia harus menjadi sorotan syariat Islam, sehingga dapat mendorong terealisasinya hak asasi manusia. Dalam beberapa ayat yang seringkali dilantunkan, “Tuhan langit dan bumi”, “Dialah Allah, Tuhan di langit dan Tuhan di bumi” memberikan inspirasi untuk menegakkan nilai-nilai langit dan nilai-nilai bumi yang berkaitan dengan hak-hak utama manusia. Karenanya syariat Islam harus menjadi penggerek untuk menciptakan perubahan, mengentaskan kemiskinan, menumpas kezaliman, menolong kaum lemah, membantu kalangan tertindas dan mempersatukan masyarakat yang tercerai-berai. Barangkali benar apa yang diungkapkan Dr.Hasan Hanafi, bahwa wahyu akan dianggap wahyu yang sesungguhnya, bukan karena diturunkan dari Tuhan belaka, akan tetapi tatkala wahyu itu dapat menjadi spirit dalam menciptakan perubahan demi membela kemaslahatan dan nilai-nilai kemanusiaan.

0 komentar: