Ibnu Hambal


Mengkaji Fikih Literalis Madzhab Hambali

Judul : Ibnu Hambal hayâtuhû wa ‘ashruhû 'arâuhû wa fiqhuhû
Tebal : 318 Halaman
Penulis : Imam Muhammad Abu Zahra
Penerbit : Darul fikri al-Arabi
Resensator : Hanif Hidayatullah

Ibnu Hambal atau Ahmad bin Muhammad bin Hambal as-Syaibânî adalah sosok yang punya hubungan darah dengan rasulullah dari moyangnya Nazâr bin Ma‘ad bin ‘Adnân alias keturunan arab asli. Menurut riwayat yang masyhur, beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan rabîul awal tahun 164 H. Dengan keturunan yang mulia itu tidak heranlah kalau kemudian beliau memiliki kepribadian yang luhur. Kata pepatah jawa "kacang ora adoh soko lanjarane". Beliau adalah tergolong orang yang sangat sabar dengan kondisi kemiskinan yang dialaminya, dalam keseharian beliau bekerja sebagai penjahit pakaian untuk dijual, yang hasilnya tidak seberapa.


Di samping juga berprofesi sebagai pemungut sisa-sisa panenan dari para petani yang sudah memanen hasilnya. Semua itu sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Namun hal itu tidak mengurangi semangat beliau untuk menjadi figur yang dikenang namanya sepanjang masa. Kesuksesan beliau sebagai penyandang titel Imam Madzhab bukan merupakan anugrah yang beliau raih dengan ilham ilmu ladunni (istilah kita), meskipun beliau adalah keturunan darah biru, namun beliau menghasilkan kesuksesan tersebut adalah dengan jerih payahnya yang luar biasa dalam mencari dan mendalami ilmu pengetahuan.Bagi Ahmad lingkungan juga sangat mendukung untuk membentuk kepribadian beliau yang luhur, karena di sekitar beliau tidak sedikit para ilmuan atau bisa dikatakan berjubel pakar-pakar ilmu yang mumpuni dibidangnya masing-masing. Namun meskipun berkembang pesat berbagai macam ilmu pada saat itu, beliau punya komitmen untuk mendalami pengetahuan yang menjadi idola hatinya saja.

Tak pelak kemudian keseharian beliau hanya di habiskan bergelut dengan hadis dan bidang fikih, karena dua ilmu itulah yang beliau gandrungi dalam dirâsahnya. Menurut Ibnu Jauzi yang merupakan murid beliau, dalam mendalami hadis dan fikih beliau pernah belajar kepada seratus pakarnya, termasuk diantaranya yang paling berperan penting adalah Hasyim bin Basyir bin Abi khâzim, seorang ahli hadis dan juga pakar fikih pada zaman imam Ahmad, yang mentransfer ilmunya dari sebagian tabi‘in seperti Umar bin Dinar dan az-Zuhri dalam bidang 'atsar Ibnu Umar dan Ibnu Mas‘ud. Peran Syaikh Hasyim inilah yang kemudian berpengaruh besar pada kepribadian Imam Ahmad sebagai sosok muhadditsîn.

Pasca mangkatnya Hasyim, tatkala beliau menunaikan ibadah haji, beliau bertemu dengan figur yang kelak berpengaruh besar membentuk karakter beliau sebagai seorang yang pakar dibidang fikih, disamping bantuan guru-guru beliau yang lain, beliau adalah Imam Syafi‘i yang dikagumi oleh Imam Ahmad sebagai figur yang pakar dalam bidang istimbath hukum fikih. Sehingga tidak heranlah beliau langsung mencari kesempatan untuk menimba ilmu As-Syafi‘i saat di masjidil haram dan kemudian diteruskan di Baghdat.

Sekilas Kondisi Politik

Imam Ahmad hidup pada masa dinasti Abbasiyah berkuasa. Kondisi politik bisa dikatakan sedikit stabil setelah berapa waktu sebelumnya sering terjadi perselisihan antara beberapa golongan. Seperti sekte Khawârij yang terkenal ekstrim sepak terjangnya, sudah tidak kelihatan lagi kekuatannya. Demikian juga kelompok lain yang sentimen kepada dinasti Abbasiyah seperti sekte Ulwiyun setelah pemerintahan dipegang oleh Harun ar-Rasyid tidak kelihatan lagi taringnya. Namun stabilitas politik mulai memanas lagi setelah adanya permaianan pemerintahan pada masa al-Makmun. Fitnah pun terjadi dikalangan pemerintahan dan berimplikasi terjadinya peperangan antara al-Makmun dengan menggandeng bala tentara persi menyerang bala tentara Arab, yang berakhir dengan kekalahan tentara Arab pada peperangan tersebut.

Berawal dari sinilah dinasti Abbasiyah mulai mengalami perpecahan. Ini diawali dari sistem pemerintahan yang sudah berubah dari sistem pemerintahan sebelumnya. Sudah tidak lagi memakai sistem yang dipakai oleh para khalifah pendahulunya, bahkan pemerintahan menggunakan sistem pemerintahan persi pada masa al-Makmun dan sistem pemerintahan ala turki pada masa al-Mu‘tashim. Maka tidak heran kemudian berdampak melemahnya pemerintahan dinasti Abbasiyah yang berakhir dengan terpecahnya dinasti Islamiyah tersebut yang sulit untuk dipersatukan kembali. Dalam kondisi seperti ini, Ibnu Hambal turut merasa prihatain dengan kondisi pemerintahnya, namun beliau tidak mampu berbuat banyak. Keprihatinannya tidak mempengaruhi jiwanya untuk berkecimpung dalam bidang politik, akan tetapi beliau luahkan perhatiannya untuk mendalami ilmu pengetahuan.

Teologi Ibnu Hambal

Beliau bisa dikatakan kurang berkecimpung dalam bidang ini, bahkan beliau tidak memperbolehkan mendalami studi ini secara mutlak tanpa bertendensi pada Al-Quran dan hadis, demikian juga terhadap perdebatan dalam bidang tersebut. Menurut beliau perdebatan dalam ilmu kalam hanya akan berimplikasi hancurnya sebuah kebenaran. Memahami ilmu adalah upaya untuk menemukan sebuah kebenaran. Sedangkan memperdebatkan ilmu hanya akan menyeret agama sebagai ajang perselisihan dan akhirnya agama hanya akan menjadi sumber permusuhan.

Namun kondisilah yang menjadikan beliau terpaksa menyentuh ranah perdebatan tentang kemakhlukan al-Qur‘an yang dipaksakan oleh khalifah al-Makmun yang berpahamkan Mu‘tazilah yang harus diakui dan diikuti oleh para fuqaha' dan muhadditsin. Meskipun mendapatkan penyiksaan dari al-Makmun dan dua khalifah setelahnya, Imam Ahmad tetap tidak mau mengakui bahwa al-Qur‘an adalah makhluk. Beliau tetap komitmen dengan pendiriannya mengikuti keyakinan salafiyun bahwa al-Qur‘an adalah firman Allah yang Qadim. Pada masa Imam Ahmad banyak bermunculan pula sekte-sekte Islam dan masing-masing memiliki pemikiran tentang teologi, sehingga wajar permasalahan akidah pada saat ini berkembang dengan pesat. Permasalahan yang mendapat sorotan tajam antara lain seputar permasalahan hakikat iman. Menurut golongan Jahmiyah bahwa hakikat iman adalah suatu keyakinan, meskipun tidak disertai dengan perbuatan dan tidak mengharuskan adanya syarat tunduk atau taat pada perintah tuhan.

Menurut Mu‘tazilah bahwa amal adalah sebahagian dari iman, sedangkan orang yang melakukan dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, jika masih mengakui keesaan Allah. Demikian halnya sekte Khawârij, menurutnya, amal adalah bagian dari iman namun pelaku dosa besar dihukumi kafir oleh mereka. Sedangkan menurut Ibnu Hambal yang merupakan pengikut salafiyun, bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, bisa bertambah dengan prilaku yang baik dan bisa berkurang akibat maksiat. Namun dalam menghukumi orang yang berdosa besar beliau tidak menghukumi kafir kecuali orang yang meninggalkan shalat lima waktu.

Fikih madzhab Hambali

Studi inilah yang menjadi sorotan kita kali ini, karena memang beliau mashur karena fikihnya, bukan sebagai pakar politik, teolog, hadis ataupun yang lainnya. Namun beliau ahli dalam bidang fikih bukan berawal dari studi beliau sebagai spesialis bidang fikih, akan tetapi diawali dengan pengembaraan intelektual beliau dalam bidang hadis, bahkan sosok Imam Ahmad ini menurut sebagian ulama seperti ibnu Qatîbah, ibnu Jarîr at-Thabarî dan al-Muqaddasî adalah al-Muhaddits bukan al-Fuqâhâ', dengan alasan bahwa fikih Imam Ahmad cenderung mendominasi hadis dan atsar, dan dalam madzhabnya tidak terdapat pemaparan tentang perbedaan pendapat para pakar fikih, sebagaimana yang terdapat pada madzhab-madzhab imam yang lain. Begitupun menurut al-Qadhi ‘iyadh bahwa dimasa Imam Ahmad banyak kitab-kitab fikih yang tidak asing ditelinga umat, ada Muhammad bin al-Hasân yang terkenal dengan fikih Iraqnya, ada Abu Yusuf dan juga Imam syafi‘i. Sementara menurut ijma' ahli sejarah, tidak terdeteksi sedikitpun tentang bukti bahwa beliau punya kitab yang membahas tentang fikih.

Namun meniscayakan, kalau seorang yang ahli dalam bidang hadis, pun ahli dalam bidang fikih. Seperti al-Bukhari, disamping beliau ahli dalam bidang hadis, disisi lain beliau juga punya pendapat tentang masalah fikih. Demikian halnya Imam Muslim, disamping pakar hadis, pun punya pandangan tentang permasalahan fikih dan mereka berdua tidak bisa dieliminasi atau diasingkan dari jama'at al-muhadditsîn. Begitupun Imam Ahmad bin Hambal, beliau disatu sisi adalah ahli fikih, namun disi lain beliau juga adalah figur yang pakar dalam bidang hadis. Menurut Ibnu al-Qayim al-Jauzi meskipun beliau tidak mewariskan kitab fikih, namun beliau menitipkan fatwa-fatwanya kepada para muridnya. Dan muridnya yang berhasil mengumpulkan menjadi sebuah kitab fikih madzhab Ibnu Hambal adalah Abu bakar al-Khalâl. Setelah Imam Khalâl mengumpulkan dalam bentuk kitab, kemudaian kitab itu dikaji oleh para murid-muridnya disebuah tempat perkumpulan yang bernama al-Mahdi yang berada di Baghdad. Dalam pertemuan inilah kemudian Madzhab imam Hambal dideklarasikan sebagai madzhab resmi.

Perangkat Penggalian Hukum Fikih

Di riwayatkan oleh al-‘Alîmî, Abdullah bin al-Waraq berkata: Aku belum pernah melihat ulama sehebat Ibnu Hambal. Beliau ditanya, apa kelebihan Ibnu Hambal? Beliau menjawab, Ibnu Hambal pernah mendapatkan pertanyaan sebanyak enam ribu permasalahan. Lalu beliau menjawab dengan hadasnâ wa akhbarnâ.
Ini mengindiskasikan dua hal: Pertama, Tampak bahwa beliau sangat pakar dalam bidang fikih, dengan kemampuannya bisa menuntaskan berbagai macam persoalan yang disodorkan kepadanya dalam jumlah yang banyak sekali. Kedua, Ibnu Hambal dalam memberi fatwa selalu bertendensi pada hadis nabi dan atsar sahabat. Dan beliau tidak akan menjawab dengan menggunakan rasio beliau sendiri, kecuali dalam kondisi terpaksa. Dan tidak akan menjawab persoalan yang belum pernah terjadi atau pertanyaan yang bersifat pengandaian, sebagai mana yang digagas oleh Imam Hanafi yang terkenal dengan fikih spekulatifnya (at-taqdîrî).

Menurut Ibnu al-Qayim al-Jauzi dalam meracik fikihnya, Imam Hambali menggunakan lima perangakat: Pertama, al-Qur'an dan hadis. Kedua, fatwa sahabat yang diketahui tidak adanya perbedaan pendapat dengan fatwa sahabat yang lain. Ketiga, jika terdapat perbedaan pendapat pada fatwa sahabat, beliau akan memilih fatwa yang lebih mendekati pesan dari al-Qur‘an dan hadis. Dan apabila tidak ditemukan kecocokan salah satu dari dua fatwa itu, maka beliau akan menyimpulkan ikhtilaf, dan akan menangguhkan keputusannya (mauquf). Keempat, memanfaatkan hadis mursal dan hadis lemah. Kelima, ketika tidak ditemukan perangkat empat diatas, dalam kondisi terpaksa beliau menggunakan perangkat qiyas dalam menggali sebuah hukum.

Disamping perangkat diatas ahli usul fikih menambahkan beberpa perangkat yang mewarnai fikih madzhab Hambali, antara lain: al-istishâb, al-mashâlih dan adz-dzarâi‘.Perangkat yang lain seperti fatwa tabi‘in, beliau menjadikan sebagai maslak alternatif, itupun ketika tidak menemukan lagi perangkat-perangkat diatas. Sedangkan ijma', beliau tidak menafikan secara mutlak pada setiap permasalahan fikih, seperti yang sudah diduga oleh sebagian orang, bahwa beliau menafikan ijma' ulama secara mutlak. Akan tetapi dalam beberapa permasalahan ijma', beliau hanya tidak mengakui beberapa argumen sebagian ulama pada masanya, seperti halnya tidak mengakui Abu Yusuf yang mengatakan bahwa pendapat al-Auza‘i adalah pendapat umum para ulama. Sebagaimana juga Imam Syafi‘i menolak beberapa pendapat ulama dalam beberapa masalah. Dan Imam Ahmad juga tidak mengambil ijma' yang bertentatangan dengan hadis shahih. Disisi lain beliau juga menetepkan beberapa permasalahan yang tidak ditemui perbedaan pendapat didalamnya. Dalam hal ini beliau akan mengadopsi ketetapan tersebut selama tidak ditemukan hadis yang terkait dengan permasalahan tersebut, namun beliau tidak mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan ijma‘ kamil.

Imam Ahmad dalam menggodok fikihnya juga menggunakan istishâb dalam kadar yang lumayan banyak seperti imam Syafi‘i guru beliau. Istishâb merupakan tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya. Standar kadar sedikit banyaknya para ulama madzhab menggunakan perangkat ini, terkait dengan kadar qiyas dan istihsân yang mereka gunakan. Jika qiyas dan istihsân banyak mewarnai istimbat fikih mereka, maka menggunakan perangakat istishâb kadarnya akan sedikit, seperti madzhab Hanafi dan Maliki. Sementara madzhab Syafi‘i dan Hambali tidak menggunakan qiyas kecuali dalam kondisi terpaksa. Maka perangkat tersebut banyak dipakai dalam menghasilkan hukum fikihnya. Ketetapan madzhab Hambali dalam menggunakan perangkat ini seperti halnya dalam masalah penyembelihan.

Para ulama salaf menetapkan sebuah kaidah fikih al-aslu fi adz-dzabâih at-tahrîm. Maka madzhab ini menetapkan hukum haram pada binatang yang hanyut sebelum disembelih meskipun terdapat bekas penyembelihan dibagian tubuh hewan tersebut. Karena tidak diketahui mati karena tenggelam yang tidak halal di makan atau mati karena disebelih yang halal dimakan. Kemudian madzhab Hambali juga menggunakan mashâlih al-mursalah sebagai perangkat untuk menghasilkan sebuah hukum, meskipun tidak bertendensikan sebuah dalil. Beliau menyetarakan kedudukan perangkat ini sama dengan qiyas, yakni jika tidak terdapat nash, fatwa sahabat dan juga hadis mursal serta dhaif. Meskipun ada diantara pengikut madzhab Hambali seperti at-Thufî yang mendahulukan mashâlih al-mursalah dari nash al-Qur‘an, dengan alasan bahwa nash bisa dinasakh dan di takhshîs sedangkan maslahah tidak bisa diganggu gugat, meskipun nash bisa selamat dari nasakh tapi tidak bisa bebas dari takhshís. Namun disinyalir bahwa at-Thufî dalam hal ini mengikuti metode berfikirnya Syi'ah Imamiyah yang berpendapat bahwa pintu nasakh dan takhsîs terhadap nash masih terbuka lebar.

Sadâd adz-dzarai‘juga menjadi pegangan madzhab Hambali dan merupakan pondasi fatwa mereka, karena setiap tuntutan yang dibebankan kepada setiap hamba, dituntut pula washilah untuk mewujudkan tuntutan tersebut. Ketika hamba dilarang melakukan suatu perkara maka dilarang pula alat yang bisa membantu terwujudnya perkara tersebut. Dalam hal ini mazdhab Hambali mempunyai dua pandangan: Pertama, memandang faktor pendorong prilaku manusia. Adakah tujuannya kearah yang halal atau yang haram. Kedua, memandang kepada aktifitas atau prosesnya, seperti orang yang menikahi perempuan dengan tujuan sebagai muhalîl talak tiga, bukan untuk mendirikan rumah tangga yang kekal. Juga seperti orang yang transaksi jual beli dengan tujuan tahâyul (manipulasi), bukan sekedar memindah kepemilikan barang dengan menyerahkan uang kepada pihak lain. Madzhab yang bayak memakai perangkat ini adalah madzhab imam Malik dan madzhab imam Hambali. Sedangkan madzhab Hanafi dan Syafi'i bisa dikatakan sangat sedikit menggunakan perangkat ini. Madzab Syafi‘i memandang hukum dari sisi dzhairnya saja, dan juga memandang perbuatan pada pristiwanya, tidak memandang kepada tujuan atau prosesnya.

0 komentar: