KHAWÂRIJ


[Upaya Melacak Jejak Fanatisme yang Kronis dalam Sejarah Islam]

Hanif Hidayatullah

Prolog
Potret kondisi umat Islam pada periode kenabian nampak terfigurakan dalam sebuah kehidupan yang sangat indah, harmonis, dan tidak ditemukan adanya konfrontasi ideologis. Hal ini tidak lain karena dilatarbelakangi oleh pandangan hidup yang masih dalam koridor tuntunan Nabi, sehingga umat Islam bersatu dalam satu wadah yang tak terkotak-kotak oleh kepentingan sektarianistik.Namun sejarah Islam kemudian harus mengalami diskontinuitas menuju arah yang tidak menyenangkan, lantaran kebersamaan dan persatuan yang pernah mereka rasakan sudah tidak bisa lagi dipertahankan pasca wafatnya Muhammad saw.


Setelah Muhammad saw wafat, mulailah muncul konflik yang tak pernah reda, tradisi toleransi yang diajarkannabi tidak sepenuhnya dapat mereka aplikasikan dalam tatanan masyarakat, sehingga kebebasan emosional yang didominasi politik kekuasaan tak dapat dibendung lagi, yang akhirnya memperkotak-kotakkan umat, hal inilah yang meniscayakan timbulnya rasialisme dan fanatisme dalam tubuh umat Islam itu sendiri. Ini bisa dibenarkan termotifasi oleh sikap, bahwa bani Hasyim yang lebih terkesan dekat dan memiliki jalur kerabat dengan nabi, sehingga mereka gagal "menyeruput" manfaat kebersamaan dan hanya akan berimbas pada tereliminasinya citra Islam yang mengagungkan nilai toleransi antara sesama umat Islam.

Aroma kebersamaan semakin tercekcoki oleh gejala-gejala politik yang semakin memanas, saat tragedi tragis menimpa Utsman di kala beliau sedang membaca Al-quran yang mengakhiri masa hidupnya pada tahun 656 M di Madinah, konon peristiwa ini di latar belakangi sikap rasialisme Utsman yang tercermin dalam pemilihan dan sekaligus menempatkan gubernur atau wali daerah yang didominasi para kerabatnya atau mereka yang ada hubungan dengan dirinya yang kebanyakan dari kalangan orang–orang Quraisy, adapun sebelumnya sudah ditetapkan oleh amîrul mu'minîn Umar ibn-Khattab tanpa dominasi mereka (Quraisy), dan di sisi lain juga timbul bermacam–macam fitnah yang mewarnai latar belakang tragis itu.

Setelah terbunuhnya Ustman, membuat para pemberontak pemerintahan Ustman menjadi panik, yang mengharuskan mereka untuk cepat mengambil tindakan, karena umat membutuhkan pemimpin untuk mengendalikan pemerintahan, maka mereka menyusun strategi untuk secepatnya memilih dan membaiat khalifah yang baru. Disisi lain mereka khawatir para pejabat Ustman bertindak sewenang–wenang, sebab mereka masih memiliki kekuatan untuk melakukan tindakan setelah terbunuhnya Ustman. Kemudian Ali bin Abi thalib dipilih oleh kebanyakan kaum muslimin, mengalahkan calon–calon yang lain yang di prioritaskan oleh sebagian sahabat seperti Zubair dan Thalhah, yang akhirnya terbentuk kesepakatan untuk membaiat Ali sebagai khalifah ke empat.

Pada masa Ali inilah mulai muncul sikap ambisi kekuasaan dan sikap fanatisme pertama dalam Islam, yang menyebabkan umat Islam terkotakkan dalam kelompok Ali dan pendukung Mu'awwiyah di satu sisi, dan khawarij disisi lain. inilah akar munculnya sekte dalam Islam, dan khawarij merupakan sekte pertama yang berkepentingan politis, sebagai mana juga komplotan Mu'awiyah, sehingga keduanya dengan kepentingan politis status quo, tidak mampu lepas dari keterjebakan fanatisme yang menjadi latar belakang terkotak–kotakkannya umat Islam atas dasar kepentingan politik belaka. Dan yang paling terkesan adalah munculnya sekte Islam yang diawali dengan arbitrasi Mu'awiyah, setelah merasa tidak mampu lagi menahan gempuran Ali pada perang shiffîn, terkait dengan arbitrasi (tahkim) yang berujung pada kelengseran Ali, menimbulkan dampak sebagian pengikut Ali keluar dari kelompoknya, yang di nobatkan dengan golongan khawârij.

Sejarah Munculnya Khawârij: dari Politik ke Teologi

Sedikit disinggung dalam prolog, bahwa munculnya Khawârij tak dapat dilepaskan dari faktor politik, terutama pada saat Ali ra. menjadi khalifah. Nama khawârij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan pada mereka sebab mereka keluar dari barisan Ali setelah Ali menerima arbitrasi pada perang Siffîn.. Menyikapi tentang kapan mulai munculnya Khawârij, para ulama banyak berbeda pendapat. Al-Syahrastani mengatakan bahwa Khawârij adalah golongan yang keluar dari keputusan imam yang sudah disepakati jamaah dalam setiap zaman, baik itu pada zaman khulâfâ al-râsyidîn, pada zaman tâbi'in, dan imam dalam setiap masa. Sedangkan Abu al-Hasan al-Multhi mendefinisikan Khawarij sebagai sekelompok sahabat yang keluar dari golongan Ali, setelah tragedi Arbitrasi. Mereka mengkafirkan Ali, karena ia menyerahkan keputusan hukum yang bertendensi pada manusia.

Sementara dalam prespektif Ibn Hajar, Khawarij adalah golongan yang mengingkari kesepakatan Ali terhadap arbitrasi dan pemerintahan Utsman pada dekade terakhir. Terdapat pandangan lain bahwa Khawarij merupakan ahli bid'ah pertama dalam Islam, sebab mereka keluar dari ideologi dan suara mayoritas kaum muslimin. Kalangan Khawârij juga memiliki nama-nama populer antara lain seperti al-Harûriah, Asy-arah, al-Mâriqah, dan al-Muhakkimah. Sementara itu, kalangan Khawarij tidak mau jika disebut dengan nama al-Mâriqah, sebab mereka tidak merasa murtad dari agama yang mereka yakini.

Kaum Khawârij pada umumnya terdiri dari orang badui yang hidup di padang pasir yang tandus, penuh kesederhanaan, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain. Perubahan agama dari agama pagan menuju ke Islam sedikitpun tidak berpengaruh kepada sifat ke-baduwi-an mereka. Mereka tetap bengis, suka kekerasan, dan tidak takut mati. Sebagai orang badui, mereka jauh dari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, iman dan paham mereka merupakan iman dan paham yang sederhana, bernalar sempit serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik, meyebabkan mereka tidak bisa mengontrol diri dari penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka sendiri, walaupun peyimpangan dalam bentuk kecil. Inilah yang menjadi latar belakang Khawârij terpecah-belah menjadi friksi-friksi kecil, serta sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam pada waktu itu.
Khawârij merupakan sekte Islam yang berkarakter politis memiliki sekte sempalan yang sangat variatif, antara lain:

1. Al-Muhakkimah
Golongan ini adalah golongan yang keluar dari kelompok Ali, yang dilatarbelakangi oleh ketidaksetujuan mereka terhadap keputusan Ali dalam menyepakati arbitrasi yang diajukan Muawiyah, setelah terjepit akibat serangan Ali pada perang Siffîn, diantara pembesar mereka: Abdullah ibn al-Kawa', 'Atâb bin A'awar, Abdullah bin Wahab al-Râsibî, 'Urwah bin Jarîr, Yazîd Abî 'âshim Al-mahâribî, dan Harqaus bin Zuhair al-Bajullî. Mereka berjumlah dua belas ribu prajurit dan menetap di daerah Harura' yang merupakan bagian dari daerah Kuffah. Prinsip Muhakkimah antara lain: mengkafirkan Usman dan Ali serta orang-orang yang sependapat atas arbitrasi. Wajib mencopot imam atau bahkan membunuhnya jika tindakannya tidak sesuai dengan kebenaran, walau hanya berupa pendapat. Memperbolehkan tidak adanya seorang imam. Boleh membunuh anak-anak dan wanita yang tidak segolongan dengan mereka. Menyatakan kafir orang yang berbuat dosa besar. Tidak sah pernikahan seseorang yang tidak mengkafirkan Ali dan Usman, juga orang yang mengkafirkan golongan mereka, dan menganggap kafir semua orang yang tidak sepakat dengan mereka.

2. Al- Azâriqah
Mereka adalah pengikut Nafi' bin al-Azraq yang keluar dari Basrah menuju Ahwaj. Jumlah mereka lebih dari duapuluh ribu. Sekte ini memiliki prinsip antara lain: menganggap musyriq orang yang sepakat membela arbitrasi, yang dianggap kafir oleh Muhakkimah. Orang yang berdosa besar adalah kafir. Mereka menganggap musyrik orang yang tidak mau ikut memerangi Ali, walau dari golongan mereka sendiri. Mereka juga menetapkan ‘wajib’ menguji seseorang yang mengaku golongan mereka dengan memerintahkan membunuh tawanan yang tidak sepakat dengannya, jika dia mau membunuh, maka dia diakui sebagai golongan mereka, namun sebaliknya jika tidak maka dianggap munafik dan harus dibunuh. Golongan ini juga memperbolehkan membunuh kaum hawa dan anak-anak yang bukan dari golongan mereka, sebab mereka menghukumi anak-anak tersebut musyrik dan kekal dalam neraka (khâlidîna finnâri). Mereka mentiadakan hukum rajam bagi pezina muhshan dan hukum qadzf bagi penuduh zina muhshan. Memperbolehkan anggapan kafir pada nabi sebelum diutus, dan menganggap berkemungkinan kafir setelah diutus. Melarang membunuh dan bahkan melindungi ahl dzimmi meskipun tak sependapat dengan mereka, dengan dalih mengikuti jejak nabi yang melindungi dan memberi jaminan kepada mereka. Hukum potong tangan merupakan tindakan penyimpangan dan penyelewengan klaim mereka, mayoritas mereka mewajibkan shalat dan puasa bagi wanita pada saat menstruasi, sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa wanita yang menstruasi ‘dianjurkan’ shalat dan puasa, mereka mengharamkan taqiyyah (merahasiakan sesuatu secara pura-pura) dalam ucapan dan perbuatan, sebagaimana yang dijadikan prinsip oleh sekte Syi'ah.

3. Al-Najdâd
Mereka adalah golongan pengikut Najdah bin 'Amir bin 'Abdullah bin Sâd bin Al-mufrij Al–hanafi. Munculnya golongan ini di latar belakangi oleh ketidak sepakatan mereka kepada al-Azâriqah, dalam masalah menghukumi kafir terhadap orang yang tidak mau ikut memerangi golongan yang dianggap musuh, serta menghalalkannya al-Azâriqah dalam membunuh anak-anak dan wanita, juga memperbolehkan taqiyyah sebagaimana yang dilarang al-Azâriqah, prinsip yang menjadi karakter al-Najdâd diantaranya: Mengkafirkan mereka yang mengklaim kafir terhadap orang yang tak ikut berperang, yakni kalangan al-Azâriqah, mengkafirkan orang yang mengakui keimaman Nafi' bin al-Azraq, mereka meniscayakan golongan mereka tidak akan masuk neraka jahanam, kalaupun disiksa di neraka nantinya maka selain neraka jahanam, orang secara kontinu melakukan dosa kecil dihukumi syirik, sementara peminum arak, pezina, dan pencuri yang tidak kontinu, tidak diklaim syirik selama masih sepakat dengannya. Menurut mereka, manusia hakikatnya tidak butuh imam, mereka menghalalkan darahnya ahl dzimmi yang tidak sepakat dengan pendapat mereka.

4. Al-Shufriyyah al-Ziyâdiyyah
Mereka adalah pengikut Abdullah bin al-Shafar al-Sa'idi, meskipun mereka sepakat dalam agama dan keyakinan akan tetapi dalam beberapa masalah mereka berbeda pandangan dengan al-Azâriqah, al-Najdâd, al-Ibâdhiyyah, diantaranya mereka tidak mengkafirkan orang yang tidak ikut berperang, mereka tidak menggugurkan hukuman rajam dan tidak memperbolehkan membunuh anak-anak dari orang yang tidak segolongan dengannya dan tidak menghukumi anak tersebut kafir dan kekal dalam neraka. Adapun taqiyyah dalam versi mereka boleh dalam masalah ucapan saja, sementara dalam perbuatan mereka tidak memperbolehkan, mereka juga tidak mengklaim kafir dan musyrik kepada pezina, pencuri, dan penuduh zina, tapi mereka menghukumi kafir orang yang meninggalkan shalat dan lari dari medan pertempuran.

5. Al-'Ajâridah
Al-'Ajâridah adalah pengikut 'Abdul Karim bin 'Ajrad yang merupakan pengikut 'Athiyyah bin al-Aswad al-Hanafi, mereka terpecah menjadi sepuluh golongan, semuanya sepakat untuk tidak mendoktrin anak-anak sampai menginjak usia baligh, sehingga mengakui keislamannya. Mereka memiliki perbedaan dengan al-Azâriqah dalam beberapa masalah, bahwa al-Azâriqah menghalalkan harta musuh-musuhnya dalam setiap saat, sementara al-'Ajâridah tidak, kecuali setelah terbunuh pemiliknya. Pada satu sisi mereka sepakat dengan al-Najdâd. Dikatakan mereka merupakan pecahan dari golongan Baihasiyyah, terpisahnya dilatarbelakangi oleh ketidaksetujuan mereka terhadap pendoktrinan anak-anak dan beberapa masalah lainnya.

6. Tsa'âlibah
Meraka adalah pengikut Tsa'labah bin Maskan dan Ibn ‘Amir, yang awalnya adalah pengikut ‘Abdul Karim bin ‘Ajrad, namun ketika adanya perselisihan (ikhtilaf) dalam hal pendoktrinan anak kecil, maka mereka saling mengkafirkan. Pada waktu Tsa'alibah masih hidup, pengikutnya utuh dalam satu wadah yang tidak terpisah-pisah. Namun ia meninggal pengikutnya pun terkotak–kotak dalam beberapa firqah, diantaranya: pengikut yang masih setia pada Tsa'alibah yang masih mengakui keimaman Tsa'alibah, Firqah Ma'badiyyah, Akhnasiyyah, al-Râsyîdiyyah, al-Makrûmiyyyah, dan al-Syaibâniyyah.

7. Al-Ibâdhiyyah
Merupakan pengikut 'Abdullah bin Ibâdh, yang merupakan firqah termasyhur dari kalangan firqah Khawârij yang lain, yang masih memiliki kontribusi besar sampai sekarang. Mereka banyak tinggal di daerah Oman, Zanjabar, Tunisia, dan Timur Afrika. Mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan di jazirah Arab, khususnya di daerah Makkah, Hadramaut, dan Madinah. Mereka tidak mau dinisbatkan dengan Khawârij, bahkan mereka menklaim dirinya Ibâdhiyyah seperti halnya Syafi'i, Hanafi, dan Maliki. Mereka menamakan Ibadhiyah karena menolak konsep mewajibkan pemimpin dari kalangan Quraisy, sebagaimana yang disepakati kalangan Syi'ah. Aqidah mereka kebanyakan sepakat dengan Ahli Sunnah. Hanya sedikit saja yang berbeda, mereka berargumen berdasarkan al-Quran dan hadîts, tetapi mereka memiliki ijma' dari kesepakatan para pakar kalangan mereka sendiri. Sepeninggal 'Abdullah bin Ibadh, mereka terpecah menjadi tujuh firqah dengan memasukkan Baihasiah merupakan bagian dari firqahnya, yaitu: al-Yazîdiyyah, al-Hafshiyyah, al-Hârîtsiyyah, al-Ibrâhîmiyyah, al-Maimuniyyah, al-Wâqîfiyyah, dan al-Baihâsiyyah.

Statemen Sunni terhadap Ideologi Khawârij

Jika kita menganalisa sejarah yang terkait dengan aliran-aliran dalam Islam, kita akan bisa memetik kesan bahwa dalam diskursus teologi Islam, masalah klaim sesat, ahli bid’ah, bahkan pengkafiran, sudah menjadi warna-warni yang menghiasi udara persaingan antar aliran dan, disadari atau tidak, hal inilah yang menyebabkan Islam seakan kehilangan ruh keharmonisan yang sudah mengakar dalam relung jiwa Islam itu sendiri. Dalam sekte khawârij sendiri, penyebab terpecah-belahnya komunitas mereka adalah karena diantara mereka mudah mengklaim kafir dan terlalu berlebihan dalam memojokkan kolega sendiri, seperti al-Azâriqah yang mengatakan bahwa kelompok mereka yang tidak ikut berjuang menggempur musuh dianggap musyrik dan kafir, sedangkan al-Najdâd mengklaim kafir terhadap orang yang mengatakan kafir orang yang tidak ikut berperang. Selain itu, dalam al-Najdâd sendiri terjadi pengkafiran antara firqah yang dikepalai oleh 'Atiyyah bin al-Aswad vis a vis Abi Fudek dan firqah yang taat pada pemimpin pertama. Pengkafiran juga terjadi antara Ma'bâdiyyah, Al-akhnâsiyyah, dan al--Syîbâniyyah, yang ketiganya merupakan pecahan dari al-Tsa'alibah, yang masalah pengkafirannya sudah disinggung pada prinsip-prinsip masing-masing firqah di atas, terutama adalah dalam pemasalahan yang bersifat parsial (furu'iyyah).

Sementara Khawârij dalam menyikapi doktrin yang digelindingkan sekte Syi'ah banyak yang bertolak belakang, antara lain jika Syiah mengkuduskan Ali dan bahkan sebagian kalangan mereka menyatakan Ali seorang nabi, tapi Khâwarij mengklaim Ali kafir dan memposisikan Abdurrahman bin Muljam pembunuh Ali sebagai sosok yang paling terpuji, bahkan yang lebih tragis sampai penumpahan darah, dan menghalalkan perampasan harta mereka, membunuh wanita dan anak-anak yang tidak tahu apa-apa, baik pada masa Dinasti Umawiyah atau Abbasiyah. Selain itu, masih bayak lagi tindakan mereka yang bisa dikatakan tidak mejunjung nilai humanisme antara sesama umat Islam. Radikalisme mereka ini memang tidak ada yang mengalahkan, dan memang itulah yang menjadi karakter Khawârij. Hal ini dapat dimaklumi karena pandangan hidup mereka jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Dr. Ali Muhammad Shalabi, salah seorang pakar Ahli Sunnah, menuturkan secara sepintas tentang latarbelakang tindakan radikal mereka, bahwa khawârij dalam menggelindingkan komentarnya tentang hukum tidak didasari pemahaman syariat yang matang, sehingga mereka tidak mampu mempertimbangkan kemaslahatan dan kerusakan yang bersifat destruktif.

Lebih jauh lagi, dalam mempelajari ilmu pengetahuan, mereka tidak dibimbing oleh seorang guru yang pakar dalam bidangnya, sehingga mereka mengkultuskan sebuah hukum sekehendak nalarnya. Hal ini disebabkan mereka hanya memandang sebelah mata kepada para ulama dan bahkan cenderung untuk menjauhinya, serta sikap tidak mau taqlid kepada siapa pun, sementara mereka adalah kalangan yang masih awam. Semboyan "tidak ada hukum kecuali hukumnya Allah" (lâ hukma illallâhu) merupakan doktrin dasar untuk mengembangkan sayap Khawârij, dan merupakan slogan kebenaran dengan interpretasi sembarangan untuk melawan kebenaran, sehingga dengan seenaknya mengatakan Ali kafir, sebab Ali memutuskan sebuah hukum dengan menggunakan kesepakatan komunitas sendiri. Mereka memandang ungkapan sahabat, tâbi'in, dan para ulama yang memiliki hujjah yang kuat, sama derajatnya dengan ungkapan mereka, sehingga mereka tidak mau taqlid kepada siapa pun, kecuali pendapat kalangan mereka sendiri. Padahal para sahabat dalam mengaktualisasikan suatu pendapat tidak terlepas dari metode yang diwariskan Rasulullah dalam mencerna hukum, sehingga meniscayakan untuk diikuti, sesuai dengan kebutuhan realitas pada masa itu.

Dalam masalah pengkafiran, mereka sangat sembarangan dalam mengklaim kafir terhadap komunitas lain, tanpa pandang bulu, sehingga menghalalkan untuk dibunuh dan dirampas hartanya, dengan hujjah yang irasional. Para ulama Sunni dalam masalah pengkafiran memberikan beberapa syarat yang harus ada pada orang yang diklaim kafir, diantaranya harus menyaksikan sendiri bahwa apa yang ia lakukan, ucapkan, dan yakini, benar-benar tindakan yang menentang kebenaran yang digariskan Islam. Disyaratkan pula mereka paham akan hakikat kebenaran yang sesuai dengan syariat, sehingga tidak selayaknya cepat mengklaim kafir terhadap komunitas atau orang lain.

Juga harus diperhatikan, bahwa apa yang dilakukan adalah kehendak hati nuraninya sendiri, yang bertentangan dengan kebenaran yang sudah dipahaminya, sebab kesalahan dalam pemahaman yang masih dalam situasi ijtihad tidak memenuhi syarat untuk diklaim kafir. Ibnu Taimiyyah mengatakan: bahwa para ulama salaf sering berpendapat salah, dalam masalah qauliyyah maupun amaliyah, dan berselisih dalam beragam permasalahan, tapi tidak pernah di antara mereka saling mengkafirkan, mengklaim fâsiq atau maksiat. Syarat terakhir diperbolehkan mengklaim kafir, jika perbuatan yang menunjukkan kekufuran dilakukan dengan inisiatifnya sendiri, tidak dalam kondisi terpaksa, sebab Allah tidak menghukum hamba-Nya yang durhaka karena salah, lemah, bodoh, dan dalam kondisi terpaksa.

Imbas Perang Ideologi

Disayangkan, munculnya varian aliran yang beriringan dengan munculnya perdebatan sektarianistik yang lekat dengan nuansa ideologis dan politis acap diwarnai oleh otoritarianisme dan monopoli kebenaran tunggal sesuai yang mereka yakini, maka, dalam konteks seperti ini, perbedaan justru akan berimbas pada munculnya image nihilnya toleransi dalam tubuh internal umat Islam. Bahkan yang lebih parah akan berimbas pada meluncurnya hukum-hukum anarkis, sehingga ajaran Islam yang sejatinya mentitahkan nilai-nilai humanisme dan toleransi secara spontan berubah menjajakan terorisme dan intoleransi. Dampaknyapun kronis, jihad yang pada mulanya hanya instrumen mempertahankan agama berubah menjadi alat bagi para penguasa untuk memaksakan kebenaran kepada pihak lain.

Setelah kita mencermati bentangan sejarah tentang diskursus Khawârij, akan terbaca, bahwa Khawârijlah yang merupakan ekspantor awal yang mengeruhkan realitas yang harmonis penuh kedamaian, dengan menebarkan warna merah yang mengerikan, dengan menyeruakkan jargon penuh anomali bahwa Islam tidak akan sempurna melainkan dengan jihad dan memerangi sebagian kaum muslimin yang tidak merangkul konsep ideologi mereka. Disusul lagi oleh Qaramithah yang merupakan firqah Syi'ah yang sadis pada masa Dinasti Abbâsiyyah, yang memiliki misi menuntut egalitarianisme, karena mereka merasa dimarginalkan oleh Dinasti Umawiyah. Mereka berkembang di daerah Iraq, Syam, dan Hijaz. Upaya mereka pun tidak kalah dengan Khawârij dalam melebarkan sayap anarkisme di berbagai penjuru, sehingga bumi Islam saat itu banyak dilumuri dengan warna merah kehitaman akibat konflik yang ditimbulkan oleh mereka. Konflik itu, tanpa bisa dibendung, telah menyebabkan jiwa kaum muslimin dibayangi ketakutan dan keresahan. Qaramithah tercatat sebagai komunitas yang berani memindahkan hajar aswad dari tempat aslinya, yakni di dinding Ka'bah. Mereka juga sosok yang "berani" tidak mengakui nabi Muhammad sebagai nabi terakhir dan menyatakan Ali dan Muhammad bin Ismail merupakan utusan Allah setelah nabi Muhammad. Qaramithah dibawah bendera Ismailiyyah, bertubi-tubi menyerang Ka'bah, dan banyak orang yang sedang melaksanakan haji menjadi sasaran keganasan mereka, sampai air zam-zam terkotori oleh percikan darah para korban. Peristiwa ini terjadi pada tahun 278 H di bawah pimpinan Hamdan bin al-Asy'ats.

Fanatisme teologis juga berdampak buruk terhadap semakin menganganya antagonisme antara Ahl Sunnah vis a vis Syi'ah. Konon di daerah Damaskus ada seorang dari kalangan Syi'ah yang bernama Abu 'Abdurrahman al-Nasai, datang kepada golongan Sunni yang berada di suatu masjid. Laki-laki tersebut mempertanyakan tentang keutamaan Khalifah Muawiyah, sehingga kalangan Sunni merasa tersinggung, sebab laki-laki tersebut seolah-olah menghina dan merendahkan Dinasti Umawiyah, maka dengan spontan jama'ah tersebut menyeret laki-laki itu keluar masjid dan menginjak-nginjaknya sampai mati. Dari Mu'tazilah vis a vis Sunni, konflik yang dilatarbelakangi khilafiyah tentang masalah identitas Al-quran, kalangan mu'tazilah yang pada masa itu mendapat dukungan dari pemerintah pada masa daulah 'Abbâsiyyah yaitu Ma'mun dan Mu'tasim, mereka tega menganiaya dan membunuh kalangan sunni yang tidak mau mengakui pendapat mereka, bahwa Al-qur`an adalah makhluk , serta masih banyak lagi fakta sejarah dan bahkan saat ini, yang terkait dengan dampak dari ta'asub yang menyeret pada keegoisan antar sesama umat Islam, secara tidak sadar mereka telah menuhankan komunitas mereka serta mendominasi, bahwa kebenaran adalah absolut, hanya ada pada komunitas mereka sendiri.

Teologi Inklusiv, sebuah tawaran menuju terciptanya Keakraban antar Komunitas

Semua aliran teologi dalam Islam berpegang teguh dengan wahyu untuk menjustifikasi pendapat mereka masing-masing, baik ahl sunnah, Syi'ah, maupun Khawârij, namun terdapat sisi lain yang tidak bisa terlepaskan, bahwa perbedaan yang terjadi pada sekte Islam syi'ah, khawârij dan ahl sunnah, yang awalnya adalah satu komunitas di bawah bimbingan nabi, adalah perbedaan interpretasi terhadap wahyu yang berangkat dari politik setelah wafatnya beliau, sehingga merambah pada pembacaan ulang terhadap metodologi interpretasi yang sudah terformat rapi itu, bahkan sudah mapan untuk di aplikasikan dalam realitaas masa itu.

Perselingkuhan interpretasi akibat dekonstruksi metodologi yang pendayagunaannya melibatkan konsep politis oleh pakar-pakar yang telah menyumbangkan daya pikir mereka pada saat itu, melahirkan pula disiplin-disiplin ilmu yang berpengaruh besar pada kerepotan implementasi ideologi, sehingga berimbas pada ketidakdinamisan dalam menghadapi tuntutan nilai-nilai humanisme dan toleransi yang tersurat dalam wahyu tersebut, terbuktilah bahwa akar fitnah yang mewarnai realitas hidup umat Islam sehingga memperkeruh keromantisan serta memporak-porandakan kebersamaan dan keakraban adalah berawal dari dialektika politis.

Komunitas khawârij yang terpotret sampai sekarang, sejatinya saat ini banyak yang hanya tinggal nama, kecuali ibadhiyah saja yang masih eksis sampai sekarang. Sementara dari sekte syi'ah yang masih ada sampai sekarang dan yang masih memiliki prioritas untuk memproyeksikan konsep mereka, hanyalah Itsna 'asyriyah dan syi'ah Zaidiyyah. Mengintip posisi khawârij dan syi'ah dalam melebarkan sayapnya dalam realitas kekinian, ternyata tidak meniscayakan, bahwa konsensus generasi terdahulu bersifat mengikat generasi setelahnya, walaupun ada sekelumit kesan keterpengaruhan intelektual mereka. Bahkan sebelumnya bisa kita cermati, bahwa tidak ditemukan perbedaan yang serius antara ahl sunnah dan ibadiyyah, demikian juga antara syi'ah dan ahl sunnah. Terbukti bahwa, Abu hanifah dari pihak sunni pernah mempelajari fikih dan dasar teologi di bawah bimbingan Imam Zaid bin Ali yang beraliran Zaidiyyah, pun dalam beberapa masalah Abu Hanifah banyak cenderung sepakat dengan ulama syia'ah di banding Imam Syafi'i, padahal beliau adalah pakar sunni, sementara imam Zaid adalah murid dari Wasil bin Atho` yang merupakan pakar dari Mu'tazilah, demikian juga Imam Malik bin Anas adalah murid dari Imam Ja'far Shâdiq yang merupakan pembesar syi'ah Imâmiyyah dan kebanyakan imam-imam madzhab ahl sunnah dalam mempelajari ilmu, sanadnya tidak terlepas dari Imam Ja'far, Imam Bukhari dari pakar hadits, menghafal dan mengumpulkan hadits dibawah asuhan 'Amran bin Hathan yang beraliran khawârij, di sisi lain, Wasil bin Atha` dan Umar bin 'Abid mengambil hadits dari Hasan Bashri yang merupakan murid Muhammad 'Abduh syeikh besar sunni dari kalangan tâbi'in. Dari situ terlihat, bahwa antara ahl sunnah, syi'ah, dan khawârij sudah ada keakraban, bahkan dari kalangan pembesar sunni, yang banyak hasil pemikirannya diadopsi oleh sebagian besar umat Islam yang bermadzhab ahl sunnah, adalah selain dari bimbingan pakar sunni juga hasil dari belajar kepada gurunya baik dari kalangan syai'ah maupun khawârij.

Saat itu perbedaan antara khawârij dan syi'ah hanya berkisar pada masalah imamah, sementara saat ini aktualisasi tentang imamah sudah tidak di terapkan oleh negara manapun, kecuali negara Yaman. Antara syi'ah dan aliran lain, termasik sunni, perbedaan yang mencolok hanya pada masalah mut'ah yang merupakan pembahasan fikih . Dari situ kita dapat mengatakan, bahwa antara syi'ah, khawârij, dan sunni tidak terdapat lagi perbedaan teologi yang "menghawatirkan", dan berdampak kronis terhadap keharmonisan dan keakraban antara sesama umat Islam, meskipun berlainan aliran. Kalaupun ada, itu merupakan tindakan orang tolol, jumud dan kalangan awam yang terlalu fanatik terhadap doktrin komunitas yang diyakini paling benar sendiri (ghuluw).

Epilog
Perbedaan yang merupakan sunnatullah, menunjukkan kekreatifan manusia, meskipun di latarbelakangi suatu kepentingan, baik kepentingan yang sifatnya individu atau kepentingan yang sifatnya komunitas, memiliki peran yang sama untuk membuahkan kemaslahatan bagi kehidupan umat. Sunni, Syiah, dan Khawarij merupakan kelompok yang memiliki perbedaan yang berawal dari suatu kepentingan yang sifatnya komunal yakni kepentingan politis untuk memperjuangkan komunitas, sehingga prinsip teologi yang pada mulanya satu konsep berubah menjadi konsep yang beraneka ragam, bahkan bertolak belakang.

Sayangnya udara persaingan yang mereka hembuskan terkadang menunjukkan persaingan yang tidak sehat, sehingga bukan tercipta kemasalahatan umat tetapi menambah problema yang mengarah kepada perpecahan. Setidaknya itu merupakan pelajaran bagi generasi kontemporer, bahwa akar fitnah yang terjadi pada generasi masa lalu adalah berawal dari sikap rasialisme dan fanatisme yang ahirnya berimbas pada intoleransi dan berujung pada tindakan anarki yang tragis antar sesama umat Islam.

Membludaknya atribut yang di pakai oleh komunitas Islam modern terkadang juga menimbulkan dampak kronis terhadap keharmonisan umat, saling mengklaim bidah, sesat dan bahkan kafir sering teraplikasikan secara radikal, ini tidak lain adalah di latar belakangi oleh sikap fanatisme yang berlebihan dan berpijak pada konsep, bahwa kebenaran hanya milik pihak tertentu.Waallahu a'lam bi al—shawab.

0 komentar: